Saya
kira menulis persoalan tembakau-emas hijau dari Negeri San Salvador, tidak akan
pernah jelas hitam dan putihnya. Rasanyapun dosa jika kita memilih netral saat
dihadapkan pada pilihan pro-kontra keberadaan tembakau di negeri merah putih
ini. Citra tembakau di Indonesia sejujurnya masih sangat awam dibandingkan di
negara lain. Di beberapa Negara Eropa misalnya, tembakau banyak dimanfaatkan
sebagai baham parfum dengan merk dagang Tabac
Perfume yang digandrungi kaum adam karena aromanya yang maskulin. Tembakau
juga banyak dimanfaatkan dalam industri kosmetik dan kesehatan yang juga sudah
banyak menyelamatan banyak jiwa. Sebuah ironi jika di dalam negeri tembakau
hanya dinilai sebagai bahan baku rokok sehingga tercipta stereotip “tembakau
membunuhmu”.
Sejarah
berbicara perang melawan tembakau sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1999
dimana isu kontrol tembakau menyeruak ke permukaan. Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sudah siap dan segera
ditetapkan, disusul lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 (PP
81/1999) sebagai anak sulung kebijakan kontrol tembakau di Indonesia. Tidak
hanya dalam lingkup nasional, secara global perang anti tembakau ditandai
dengan lahirnya WHO Tobacco Free
Initiative pada 1998 yang banyak mendapat sokongan dana dari 75% perusahaan
farmasi dengan kepentingan Nicotine War.
WHO berhasil mencetuskan Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) yaitu perjanjian internasional
pengendalian tembakau yang bersifat menyeluruh (mengatur produksi, penjualan,
distribusi, iklan, hingga perpajakan tembakau), dan telah diadopsi oleh Majelis
Kesehatan Dunia pada tahun 2003 dimana mulai diberlakukan di tahun 2005. Hal
tersebut semakin menegaskan citra tembakau sebagai musuh kesehatan global
dunia, meskipun hingga saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang
belum belum meratifikasi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC).
l
Banyak
yang belum menyadari perkembangan Citra tembakau, persepsi masyarakat dan
segelintir kebijakan-kebijakan lokal-global di dunia tembakau akan banyak
berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial dan politik Indonesia utamanya dalam
unit terkecil sektor tembakau yaitu petani tembakau. Menurut Sudaryanto (2010),
produksi tembakau terus meningkat selama 1970-1972 sampai 1990-1992, tetapi
kemudian menurun pada tahun 1997-1999 sebesar 11.5 persen. Pada tahun
1997–1999, pangsa produksi tembakau Indonesia sangat kecil yaitu hanya 1.82
persen dari produksi dunia atau 2.78 persen dari produksi negara berkembang.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa produksi tembakau Indonesia terus mengalami
peningkatan dalam kurun waktu 1990-1999 namun mengalami penurunan dalam kurun waktu
2000-2010. Penurunan produksi tembakau Indonesia setelah tahun 1999 dapat
dikatakan wajar sebagai akibat implikasi kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
81 Tahun 1999 (PP 81/1999) tentang kontrol tembakau, juga disusul Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
pada 2005.
Regulasi
kontrol tembakau masih berlanjut yaitu dengan menaikkan tarif cukai rokok,
kenaikan tarif cukai rokok secara pasti akan mengurangi jumlah permintaan
tembakau sehingga secara langsung mempengaruhi kesejahteraan petani tembakau. Berdasarkan
hasil penelitian Buana (2013), kenaikan tarif cukai rokok kretek sebesar 10
persen dapat menyebabkan berkurangnya kesejahteraan petani tembakau rata-rata
sebesar Rp 1.61 milyar pada tahun 2006, kenaikan tarif cukai rokok kretek sebesar
10 persen dari tahun sebelumnya mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan petani
tembakau rata-rata sebesar Rp 1.99 milyar pada 2009, dan jika kenaikan tarif
cukai rokok kretek diteruskan pada 2010
dapat menyebabkan berkurangnya kesejahteraan petani tembakau sebesar Rp
6.07 milyar. Sementara hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang
secara signifikan menyelamatkan kesejahteaan petani tembakau yang terus menurun
dengan gencarnya gerakan anti tembakau.
Memusuhi
tembakau tidak hanya berimbas pada penurunan kesejahteraan petani tembakau.
Persoalannya lebih luas lagi dimana sektor tembakau di Indonesia melibatkan
industri kretek, yaitu industri yang seluruh proses produksi dari hulu ke
hilir, mulai dari bahan baku-tembakau dan cengkeh-sampai produk akhir-dikerjakan
di dalam negeri. Kontribusi tembakau melalui industri kretek bagi negara tidak
dapat disangkal. Data tahun 2009 menyebutkan, dari hulu sampai ke hilir industri
kretek menyerap tenaga kerja sampai 30,5 juta orang. Selain itu, industri
kretek tampil sebagai penyumbang cukai terbesar. Tahun 2010 negara menerima
cukai dari tembakau sebesar Rp 62 triliun, di mana bagian terbesar dibayar oleh
konsumen kretek. Penerimaan negara tersebut belum termasuk pajak yang dibayarkan
industri, pajak yang dibayarkan tenaga kerja industri, dan dana sosial (CSR)
industri. Dari cukai tembakau saja, industri kretek menyumbang jauh lebih besar
dibanding Freeport yang hanya Rp. 20
triliun. Sehingga dapat dikatakan citra tembakau yang negatif akan mematikan
petani tembakau, petani cengkeh, perkebunan tembakau, perusahaan kretek, buruh
kretek, dan Indonesia sekaligus.
Dinamika
di dunia tembakau terus terjadi. Isu kontrol tembakau terus beredar santer di ruang-ruang
publik. Sosialisasi melalui workshop, seminar, dialog dan lain sebagainya
tentang bahaya tembakau terus berjalan. Media massa dengan cukup intens juga
memberitakan berbagai riset dan wacana negatif tentang tembakau. Tokoh-tokoh
anti tembakau bermunculan. Pelan tapi pasti, wacana tembakau yang berbahaya
bagi kesehatan menjelma jadi kebenaran umum. Melihat data-data terkait tembakau
dapat disimpulkan bahwa memusuhi tembakau bukanlah tindakan yang bijaksana
untuk saat ini. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam negeri belum siap
jika harus berhadapan dengan tembakau dan kehilangan industri pertembakauan.
Banyak yang perlu dipersiapkan telebih dulu untuk “perang melawan tembakau”.
Pemerintah, akademisi, peneliti perlu mengambil peranan dan tanggung jawab
penuh. Terutama dalam riset pengolahan produk tembakau berbasis non rokok. Atau
jika negara sudah “beres”: tingkat pengangguran rendah, angka kemiskinan kecil,
keuangan negara bagus, industri tumbuh, tembakau bisa saja “dikorbankan” demi
arus global.
Tembakau
bukan hanya soal komoditas pertanian di Bumi pertiwi, lebih jauh lagi tembakau sudah jadi bagian sejarah bangsa yang
telah mengakar sejak abad XVII. Salah satu industri tembakau yaitu kretek
menjadi sedikit bahkan mungkin satu-satunya industri nasional yang mampu
bertahan dari berbagai terpaan badai pergolakan nasional jika dibandingkan
dengan industri gula, garam, dan kelapa yang saat ini nyaris mati. Industri
kretek mampu dan telah teruji menyelamatkan ekonomi bangsa sejak zaman perang
dunia I pada 1918, Depresi ekonomi saat New york collapse pada tahun 1929, Agresi Militer Belanda pada 1945 hingga krisis
moneter pada tahun 1997. Sehingga sekali lagi, memusuhi tembakau saat ini
bukanlah tindakan yang bijaksana. Membangun kembali citra tembakau adalah tugas
bersama, agar kesejahteraan petani tembakau dapat diselamatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abhisam,
Ary Hasriadi, dan Harlan Miranda. 2011. Membunuh
Indonesia. Jakarta : Kata Kata.
Buana,
Ali Surya. 2013. Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai Rokok Kretek terhadap Harga,
Penawaran dan Permintaan Komoditas Rokok Kretek dan Komoditas Tembakau serta
Kesejahteraan Masyarakat. Skripsi. Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Diah
dkk. Policy Paper Pengendalian
Tembakau dalam Konteks Sustainable
Development Goals: Menuju Generasi Muda yang Berkualitas. Jakarta : Center for Indonesia’s Strategic Development
Initiatives (CISDI).
Sudaryanto,
Tahlim dkk. 2010. Analisis Prospek Ekonomi
Tembakau Di Pasar Dunia dan Refleksinya Di Indonesia Tahun 2010. Jakarta :
Departemen Pertanian.
https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/tembakau/02.html
No comments