Subsektor perikanan menjadi salah satu sektor riil yang potensial di Indonesia dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km (KKP, 2016). sumber daya pada subsektor perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Namun, mencermati pembangunan Indonesia selama ini sangatlah ironis karena secara empiris, dengan potensi yang besar, pembangunan sektor perikanan belum dilakukan secara maksimal. Pada tahun 1970-an, Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada pangan dan peningkatan devisa dari subsektor perikanan. Sejak pencanangan itu, pemerintah mengucurkan berbagai skim kredit secara besar-besaran. Hasilnya, terjadi perkembangan luar biasa yang kemudian terkenal dengan istilah “revolusi biru”. Meskipun demikian, tetap timbul permasalahan karena skim kredit untuk subsektor perikanan tangkap tidak pernah disinggung. Padahal pembiayaan pada pembangunan pertanian khususnya pada perikanan tangkap memegang peranan penting. Ketersediaan skim pembiayaan sangat menentukan maju mundurnya agribisnis daerah khususnya pada usaha perikanan tangkap.
Sektor perikanan di bagi menjadi dua
garis besar yaitu perikanan tangkap dan perikanan tambak atau budidaya. Perikanan tangkap adalah sebuah kegiatan usaha yang
bertujuan memproduksi ikan dengan cara menangkap dari perairan laut (pantai dan
laut lepas). Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik produksi ikan pada usaha perikanan tangkap empat tahun terakhir
terus mengalami fluktuasi. Pada tahun 2014 volume produksi perikanan tangkap
mencapai angka 6,48 juta ton atau dengan persentase sebesar 31,09% dari
produksi perikanan nasional, pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 0,61%
dengan nilai sebesar 6,52 juta ton atau dengan persentasi 31,28% dari prodoksi
perikanan nasional. Pada tahun 2016 produksi perikanan tangkap mengalami peningkata yang cukup signifikan
sebesar 4,75% atau dengan nilai produksi sebesar 32,77% dan persentase 32,77%
dari perikanan nasional, sayangnya pada tahun berikutnya produksi perikanan
tangkap mengalami penurunan tajam sebesar 11,56% atau sebesar 6,04 juta ton dan
persentase 28,98% dari perikanan nasional. Padahal Hasil kajian Kemetrian
Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No 47/ KEPMEN-KP/2016 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan
yang diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPP NKRI dengan
estimasi potensi sebesar 9,9 juta ton.
Tidak tercapainya potensi produksi
perikanan tangkap nasional disebabkan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan
sehingga produksinya kurang optimal. Permasalahan yang dihadapi nelayan
utamanya dari segi pembiayaan usaha perikanan tangkap. Seperti kita ketahui, perikanan
tangkap merupakan usaha padat modal yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Biaya
tersebut mencakup biaya perahu, jaring dan biaya operasional penangkapan.
Dibandingkan dengan perikanan tangkap, perikanan tambak atau budidaya lebih
pasti dilihat dari segi pendapatannya. Dilihat dari pelakunya, usaha perikanan
tangkap banyak dijalankan oleh nelayan kecil, sementara perikanan tambak atau
budidaya banyak dijalankan oleh pengusaha perikanan yang memiliki modal relatif
besar.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang perikanan, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki mata
pencaharian sebagai penangkap ikan. Mereka melakukan aktivitas usaha dan mendapat penghasilan dari kegiatan mencari dan
menangkap ikan. Secara struktural ekonomi nelayan mirip dengan ekonomi petani,
antara lain berskala kecil, peralatan dan organisasi pemasaran masih relatif
sederhana. Meskipun demikian, jika dilihat dari sudut pandang perilaku ekonomi
maka kehidupan nelayan sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan
petani.
Dalam proses produksi, sejak awal petani
telah terlibat secara langsung. Mereka harus menyiapkan lahan, membajak, dan
menanaminya. Mereka juga terlibat terus hingga proses pasca tanam. Sebaliknya,
dalam proses produksi nelayan tidak banyak terlibat. Meskipun demikian, tetap
dibutuhkan keterampilan teknis nelayan untuk memahami habitat ikan, arah arus,
cuaca, musim ikan, dan sebagainya. Apabila mengalami paceklik hasil tangkapan,
nelayan akan berpindah daerah tangkapan untuk sementara, atau paling jauh akan
mencari daerah tangkapan baru (andun)
yang diperkirakan masih banyak ikan. Ada kemungkinan pula mereka berhenti untuk
sementara waktu guna menghindari kerugian yang lebih besar.
Perbedaan yang tajam antara petani
dengan nelayan pada proses produksi, berakibat pola pendapatan yang kontras di
antara mereka. Pendapatan petani cenderung lebih teratur, sebaliknya pendapatan
nelayan tidak pernah teratur. Selain teratur, petani sedikit banyak memiliki
gambaran mengenai besar pendapatan yang akan diperoleh setiap panen. Petani
juga memiliki gambaran mengenai waktu panen berikutnya. Oleh karena itu, petani
sangat hati-hati dalam membelanjakan pendapatannya sehingga cukup sampai panen
berikut. Untuk menghindari risiko petani cenderung kepada hal yang telah mapan
seperti mendirikan lumbung pangan atau lumbung paceklik dan kurang berani
melakukan spekulasi. Sebaliknya, nelayan tidak pernah memiliki gambaran tentang
pendapatan yang akan diperoleh. Bagi nelayan usaha penangkapan ikan bagaikan
seni berburu yang penuh dengan spekulasi karena hasilnya sulit diperkirakan,
semua serba meraba-raba dan tidak pernah pasti.
Biaya yang diperlukan nelayan dalam
pelaksanaan usaha perikanan tangkap meliputi pengadaaan kapal, atau perahu,
mesin, alat tangkap dan pengadaan alat bantu penangkapan. Di samping itu,
diperlukan juga biaya perawatan kapal atau perahu, mesin, alat tangkap serta
alat bantu penangkapan. Yang tidak kalah pentingnya adalah biaya perbekalan
melaut, meliputi pembelian oli, bahan bakar minyak, es batu, garam, dan biaya
konsumsi nelayan selama melaut. Semua
aspek yang menyangkut usaha perikanan tangkap memerlukan sumber pembiayaan agar
usaha ini dapat berjalan dengan baik, dilihat dari sumbernya, sumber pembiayaan
atau kredit usaha perikanan tangkap meliputi lembaga pembiayaan formal dan non
formal.
Lembaga pembiayaan formal yang dapat
diakses oleh usaha perikanan tangkap
antara lain, pembiayaan melalui sektor perbankan, lembaga keuangan nonbank, dan koperasi. Ketiga jenis
lembaga tersebut masing-masing memiliki karakteristik sendiri. Namun prinsip
dasar yang digunakan dalam penilaian calon nasabah relatif sama, yaitu
berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential
banking) dengan menerapkan konsep “5C” atau “the five C’s principles” bagi bank konvensional, yaitu character, capacity, collateral, capital, dan
condition dimana kelima prinsip
tersebut relatif sulit dipenuhi nelayan untuk mendapatkan kredit atau
pembiayaan. Baik sektor perbankan, Lembaga Keuangan
Non Bank (LKBB), dan Koperasi tidak dapat diandalkan dalam memberikan akses
pembiayaan kepada nelayan.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu 2005-2009, alokasi kredit untuk perikanan sedikit naik dari
0,22% menjadi 0,23% dari total kredit perbankan. Bank Indonesia telah
mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan lembaga keuangan formal tidak
tertarik untuk menyalurkan pembiayaan ke subsektor perikanan tangkap, antara
lain masalah pemahaman karakteristik risiko, dan masalah agunan. Bank hingga
saat ini belum mempunyai metode khusus untuk menilai risiko kredit subsektor
perikanan tangkap. Akibatnya tidak ada skim khusus untuk nelayan sehingga
kredit untuk perikanan tangkap sulit disalurkan. Perbankan takut gagal bila menyalurkan
kredit kepada nelayan karena subsektor perikanan tangkap mempunyai volatilitas
yang tinggi sehingga dianggap sangat beresiko. Selanjutnya mengenai masalah
agunan, sistem dan metode agunan yang diterapkan masih mengikuti pola kredit
umum. Pola ini sangat memberatkan nelayan. Agunan yang diminta bank biasanya
berbentuk surat tanah atau buku pemilikan kendaaan bermotor (BPKB), sementara
perahu beserta alat tangkap yang merupakan aset terbesar nelayan tidak bisa
diterima sebagai agunan.
Permasalahan pembiayaan pada sektor
perikanan tangkap membuat kebutuhan nelayan untuk mendapatkan pembiayaan dan
permodalan dari lembaga pembiayaan fomal sulit diperoleh. Oleh karena itu,
mereka harus mencari alternatif pembiayaan dengan meminjam dari para tengkulak,pengambak,
pedagang, atau rentenir dengan bunga relatif lebih tinggi. Meskipun mahal,
meminjam kepada tengkulak “lebih disukai” nelayan karena mudah, tidak perlu
agunan dan proses pencairannya cepat. Selain itu, faktor saling mengenal juga
sangat berpengaruh dalam mendapatkan modal.
Hubungan antara nelayan dengan tengkulak
tengkulak,pengambak, pedagang, atau rentenir
(lembaga pembiayaan informal) dikenal dengan hubungan patron-klien.
Patron-klien merupakan tata hubungan yang memungkinkan terwujudnya institusi
jaminan sosial ekonomi. Secara ekonomi, hubungan patron-klien menampakkan kecenderungan
yang bersifat eksploitatif karena patron lebih banyak menguasai sumber daya
sehingga mampu memaksimalkan keuntungan begitu juga sebaliknya pihak nelayan
yang berlaku sebagai klien memiliki kesempatan sangat kecil untuk memaksimalkan
keuntungannya. Meskipun demikian, di kalangan masyarakat nelayan eksploitasi
yang terjadi cenderung dianggap lebih baik karena mereka tidak memiliki alternatif lain dalam menemukan
sumber kredit atau pinjaman untuk modal melaut.
tata hubungan patron-klien umumnya
berkenaan dengan (1) hubungan di antara pelaku yang menguasai sumber daya tidak
sama; (2) hubungan bersifat khusus (particularistic),
yaitu hubungan pribadi yang mengandung keakraban (affectivity); (3) hubungan yang didasarkan pada asas saling
menguntungkan, saling memberi, dan saling menerima. Tata hubungan seperti ini
yang cenderung terjadi pada masyarakat nelayan, sebagai akibat pendapatan yang
tidak pernah teratur. Pendapatan yang tidak pernah teratur memengaruhi fenomena
sosial pada masyarakat nelayan yang sangat dominan. Salah satunya adalah
hubungan sosial yang terjalin atas dasar utang-piutang untuk memenuhi kebutuhan
di saat menghadapi krisis.
Hasil penelitian Mubyarto dkk
(1984), menunjukkan bahwa pola hubungan patron-klien telah menciptakan
kemiskinan pada masyarakat nelayan. Stuktur patron yang disebut toke atau
pemborong sangat mendominasi sumber ekonomi nelayan yang menjadi klien dalam
komunitas dimana sumber permodalan yang
dimiliki oleh tengkulak,pengambak, pedagang, atau rentenir (lembaga pembiayaan informal) dan
ketergantungan nelayan kepada lembaga pembiayaan informal untuk mendapatkan
modal investasi dan modal oprasional telah “mewajibkan” nelayan menjual hasil
tangkapannya kepada lembaga pembiayaan informal seperti tengkulak, pengepul,
atau pengambak. Hubungan patron-klien yang terjadi adalah pengepul selaku
patron berkewajiban menyediakan dana untuk kebutuhan sebagian modal produksi,
modal oprasional, dan saat nelayan mengalami paceklik. Kewajiban nelayan selaku
klien adalah menjual hasil tangkapan kepada pengepul yang menjadi patron dengan
harga yang relatif tidak elastis dan masih harus di potong untuk angsuran
pinjaman. Fenomena tersebut terjadi hampir di seluruh komunitas nelayan seperti
pada daerah Jepara (Jawa Tengah), Parongsongan (Madura) dan Puger wetan (Jawa
Timur).
Berdasarkan pertimbangan bahwa sektor
perikanan tangkap merupakan sektor vital dalam perekonomian, dan masalah
pembiayaan yang dihadapi perikanan tangkap nasional akibat lembaga pembiayaan
formal yang tidak fleksibel dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya nelayan maka
diperlukan solusi pemecahan masalah tersebut. Beberapa solusi altenatif dapat
diterapkan sebagai landasan kebijakan pemerintah untuk mengakomodasi akses nelayan
dalam mendapatkan kredit yang berasal dari lembaga keuangan formal berbiaya
murah. Lembaga berbasis bagi hasil relatif cocok dan sesuai dengan karakter
serta budaya ekonomi nelayan tangkap. Lembaga pembiayaan formal juga perlu
mengadopsi pola-pola pembiayaan informal yang telah mengakar pada komunitas
nelayan. Lembaga keuangan formal nelayan baiknya melaksanakan pembiayaan
berbasis bagi hasil dengan lingkup usaha terbatas. Wilayah kerja lembaga bisnis
berbasis bagi hasil ini terbatas pada suatu komunitas nelayan tertentu.
Pengelola lembaga pembiayaan diusahakan adalah masyarakat lokal sehingga
hubungan antara pengelola dengan masyarakat sangat intens. Mereka harus mampu
membangun hubungan emosional dengan para nelayan melalui kunjungan silaturahmi
dan secara berkala menyampaikan makna ekonomi bagi hasil. Ikatan emosional
harus dibangun melalui pendekatan secara personal dan melakukan pendampingan
usaha.
Lembaga pembiayaan harus memahami
filosofi bahwa dasar memberikan pinjaman bukanlah nilai ekonomi agunan yang
diserahkan tetapi yang harus dipahami adalah prospek usaha calon nasabah.
Mungkin saja nilai agunan relatif besar, tetapi kalau prospek usaha tidak
meyakinkan maka jumlah pembiayaan yang diberikan harus sedikit atau bahkan
ditolak. Demikian pula sebaliknya, jika prospek usaha sangat baik, meskipun
agunan kecil maka dapat diberikan pinjaman lebih banyak daripada seharusnya.
Nelayan adalah masyarakat yang tidak
terbiasa dengan urusan administatif sehingga perlu dilakukan penyederhanaan
urusan administrasi. Kalau belum ada tanda (signal)
dana pembiayaan disetujui, tidak perlu dituntut administrasi yang sulit.
Setelah pembiayaan disetujui, baru diminta menyelesaikan masalah administrasi.
Untuk meminimalkan risiko, lembaga pembiayaan harus tetap mengutamakan kriteria
yang menjadi pertimbangan bank dalam melakukan analisis kredit/pembiayaan
kepada nasabah. Meskipun demikian, yang utama harus diperhatikan adalah character (watak), capacity (kapasitas), dan
condition (kondisi perekonomian pada
umumnya). Adapun capital (permodalan)
dan collateral (jaminan) cukup
dijadikan sebagai penunjang.
Terakhir jika pembiayaan akan diberikan
kepada kelompok maka keberadaan dan peran kelompok harus ada terlebih dahulu.
Kelompok tidak boleh dibentuk secara instan untuk keperluan mendapatkan dana
pembiayaan. Kelompok harus sudah terbentuk terlebih dahulu berdasarkan
kebutuhan nelayan dan mempunyai visi anggota yang sama. Kelompok inilah yang
paling mengetahui dan memahami kebutuhan anggotanya. Ketua kelompok telah
benar-benar dipahami karakter, kejujuran, dan kebijaksanaannya oleh anggota.
Peran ketua kelompok yang adil dan bijaksana sangat penting untuk
mengalokasikan pinjaman yang diberikan anggota kelompok. Pinjaman tidak harus
dialokasikan sama rata kepada angggota kelompok, tetapi harus adil. Anggota yang
membutuhkan biaya untuk menambah alat tangkap, diberi seharga alat tangkap.
Demikian pula yang hanya membutuhkan untuk perbekalan, diberikan seharga
perbekalan melaut. Selain itu, fungsi ketua kelompok adalah melakukan pembukuan
dan menerima angsuran dari nelayan untuk disetorkan kepada pemberi pinjaman.
Selain perbaikan dari sisi lembaga
keuangan formal, perbaikan juga perlu dibangun dari sisi nelayan. Berdasarkan
UU No. 31/2004 tentang perikanan, pasal 26,27,28 menyebutkan, setiap orang atau
badan hukum di Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang
penangkapan dan atau pengangkutan ikan di Wilayah Pengelolaaan Perikanan (WPP)
Indonesia wajib memiliki : (1) Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP); (2) Alokasi
Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) untuk penanaman modal; (3) Surat Iziin
Penangkapan Ikan (SIPI); (4) Surat Izin Pengangkutan Ikan (SIKPI). Sementara
fakta di lapangan menunjukkan usaha perikanan tangkap belum memiliki legalitas
usaha walaupun rata-rata kapal yang dimiliki nelayan berukuran antara 10 GT
sampai 15 GT. Bila seorang nelayan memiliki dua buah kapal berukuran 15 GT maka nilai aset bisa lebih dari p. 1
Miliar. Dikaitkan dengan kriteria usaha menuut Undang-Undang UMKM maka usaha
ini termasuk kategori usaha menengah. Kriteria ini sangat penting karena bila
berhadapan dengan institusi formal seperti lembaga pembiayaan perbankan, tentu
akan menilai usaha dari legalitas yang dimiliki. Oleh karena itu, kesadaran
nelayan akan pentingnya legalitas perlu ditingkatkan agar peluang akses ke
sumber pembiayaan formal lebih mudah.
Nelayan pada umumnya tidak memiliki
cukup jaminan sebagai syarat untuk memperoleh kredit karena aset yang dimiliki
hanya tanah yang belum bersertifikat dan kapal yang tidak diasuransikan.
Jaminan merupakan syarat mutlak yang diperlukan oleh lembaga pembiayaan. Apalagi
untuk pembiayaan skala besar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebenarnya
pemerintah telah melaksanakan program sertifikasi aset nelayan sebagai
pemecahan masalah jaminan. Program Sertifikasi Hak Atas Tanah (SEHAT) yang
dirancang oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) perlu mendapat prioritas. Sasaran utama program
“Sehat Nelayan” adalah memberikan status hukum atas kekayaan (aset) milik
nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil serta memberikan jaminan pada
nelayan untuk meningkatkan kualitas pemukiman yang layak, permanen, dan sehat.
Sasaran lain adalah meningkatkan kualitas kepastian usaha nelayan melalui
kepemilikan aset berupa tanah yang dapat didayagunakan sebagai agunan untuk
mengakses permodalan serta meningkatkan minat serta kepercayaan lembaga
keuangan/perbankan untuk menyalurkan kredit kepada nelayan skala kecil.
Tidak hanya itu, karakter kegiatan
perikanan tangkap yang sangat beresiko perlu “didampingi” oleh keberadaan
asuransi kapal nelayan. Kabar baiknya sudah ada sebanyak tujuh perusahaan
asuransi swasta yang membentuk konsorsium asuransi penjamin kapal nelayan
supaya kapal ikan bisa dijadikan agunan kredit. Langkah itu untuk memecahkan
kebuntuan akses permodalan nelayan ke perbankan. Konsorsium perusahaan
asuransi itu terdiri atas PT Mega
Pratama, PT Asuransi Tafakul Indonesia, PT Asuransi Himalaya Pelindung, PT
Asuransi Binagriya Upakara, Malaysian
Assurance Alliance Berhad, PT Asuransi Intra Asia, dan PT Asuransi Jasa
Tania Tbk. Dengan adanya penjaminan asuransi kapal nelayan, setiap nelayan bisa
mendapat kredit hingga mencapai Rp. 1 Milyar untuk tenor kredit selama lima
tahun. Adapun nilai premi asuransi kapal nelayan adalah 3,5% dari nilai kapal.
Masyarakat nelayan merupakan masyarakat
yang memiliki tingkat kesejahteran paling rendah dibanding anggota masyarakat
lainnya dimana menurut hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat PMP pada
tahun 2006, sebanyak 32,14 % dari 16,42
juta jiwa masyarakat pesisir masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan
indikator pendapatan US$ 1 per hari. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga
nelayan berbanding terbalik dengan kekayan laut yang begitu besar di wilayah
pesisir. Usaha perbaikan pada sistem pembiayaan perikanan tangkap adalah angin
segar bagi kesejahteraan nelayan. Jika
“wajah” pembiayaan perikanan tangkap membaik maka tentunya akan banyak merubah
“wajah” kesejahteraan nelayan. Kita masih memiliki waktu untuk berbenah, masih
banyak cara dan solusi yang dapat dilakukan baik pemerintah, stake holder, dan masyarakat nelayan
untuk memperbaiki keadaan. Hidup
Nelayan Indonesia !
Bahan Bacaan :
BPS.
2015. Kecamatan Puger dalam Angka 2015. Jember : BPS Kabupaten Jember.
Daryanto,
Arief. 2007. Dari Kluster menuju peningkatan daya saing industri perikanan.
Buletin Craby & Staky, edisi Januari 2007.
Fauzi,
A. 2007. Kebijakan Perikanan dan Kelautan.
Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Hapsari, Y.T. dan Fuad, A.D. 2017. Manajemen Rantai Pasokan Pada
Masyarakat Nelayan Tradisional (Studi Kasus Pada Nelayan Puger Jember). Gulawentah. 2(2):67-68.
Kementrian
Kelautan dan Perikanan. 2016. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Jakarta : Pusat data statistik KKP.
Lubis, E., Pane, A.B.,
Muninggar, R. dan Hamzah, A.
2014. Besaran Kerugian Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan: Kasus Pelabuhan
Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Maspari Journal. 4(2):159-167.
Moegni,
Nurtjahja, Ahamd R. dan Gigih P. 2014. Adaptasi Nelayan Perikanan Laut Tangkap
dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Ekonomi
dan Studi Pembangunan, 15(2) : 182-189.
Muflikhati,
Istiqlaliyah., dkk. 2010. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan
Keluarga: Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Ilm. Kel dan Kons, 3(1) : 1-10.
Mubyarto
dkk (1984). Nelayan dan Kemiskinan :
Studi Kasus Ekonomi Antropologi di Dua desa panta, Jakarta Rajawali Press
Nadjib, Mochammad. 2013. Sistem Pembiayaan Nelayan. Jakarta: LIPI Press.
Retnowati,
Endang. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif
Sosial, Ekonomi dan Hukum). Perspektif.16(3):
149-159.
Sufirudin. 2016. Hubungan Patron Klien Diantara
Masyarakat Nelayan Di Desa Kangkunawe Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Holistik. 9(17): 1-20.
Wijayani,
Fika. 2016. Strategi Keluarga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan. Skripsi. Diterbitkan. Jurusan Pendidikan
Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Yogyakarta, Yogyakarta.
No comments