(MARI)TIM, (MARI) BIAYAI !




Subsektor perikanan menjadi salah satu sektor riil yang potensial di Indonesia dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km (KKP, 2016).  sumber daya pada subsektor perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Namun, mencermati pembangunan Indonesia selama ini sangatlah ironis karena secara empiris, dengan potensi yang besar, pembangunan sektor perikanan belum dilakukan secara maksimal.  Pada tahun 1970-an, Pemerintah Republik Indonesia mencanangkan pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada pangan dan peningkatan devisa dari subsektor perikanan. Sejak pencanangan itu, pemerintah mengucurkan berbagai skim kredit secara besar-besaran. Hasilnya, terjadi perkembangan luar biasa yang kemudian terkenal dengan istilah  “revolusi biru”. Meskipun demikian, tetap timbul permasalahan karena skim kredit untuk subsektor perikanan tangkap tidak pernah disinggung. Padahal pembiayaan pada pembangunan pertanian khususnya pada perikanan tangkap memegang peranan penting. Ketersediaan skim pembiayaan sangat menentukan maju mundurnya agribisnis daerah khususnya pada usaha perikanan tangkap.

Sektor perikanan di bagi menjadi dua garis besar yaitu perikanan tangkap dan perikanan tambak atau budidaya. Perikanan  tangkap adalah sebuah kegiatan usaha yang bertujuan memproduksi ikan dengan cara menangkap dari perairan laut (pantai dan laut lepas).  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik produksi ikan pada usaha perikanan tangkap empat tahun terakhir terus mengalami fluktuasi. Pada tahun 2014 volume produksi perikanan tangkap mencapai angka 6,48 juta ton atau dengan persentase sebesar 31,09% dari produksi perikanan nasional, pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 0,61% dengan nilai sebesar 6,52 juta ton atau dengan persentasi 31,28% dari prodoksi perikanan nasional. Pada tahun 2016 produksi perikanan tangkap  mengalami peningkata yang cukup signifikan sebesar 4,75% atau dengan nilai produksi sebesar 32,77% dan persentase 32,77% dari perikanan nasional, sayangnya pada tahun berikutnya produksi perikanan tangkap mengalami penurunan tajam sebesar 11,56% atau sebesar 6,04 juta ton dan persentase 28,98% dari perikanan nasional. Padahal Hasil kajian Kemetrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 47/ KEPMEN-KP/2016 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di WPP NKRI dengan estimasi potensi sebesar 9,9 juta ton.
Tidak tercapainya potensi produksi perikanan tangkap nasional disebabkan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan sehingga produksinya kurang optimal. Permasalahan yang dihadapi nelayan utamanya dari segi pembiayaan usaha perikanan tangkap. Seperti kita ketahui, perikanan tangkap merupakan usaha padat modal yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Biaya tersebut mencakup biaya perahu, jaring dan biaya operasional penangkapan. Dibandingkan dengan perikanan tangkap, perikanan tambak atau budidaya lebih pasti dilihat dari segi pendapatannya. Dilihat dari pelakunya, usaha perikanan tangkap banyak dijalankan oleh nelayan kecil, sementara perikanan tambak atau budidaya banyak dijalankan oleh pengusaha perikanan yang memiliki modal relatif besar.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai penangkap ikan. Mereka melakukan aktivitas usaha dan  mendapat penghasilan dari kegiatan mencari dan menangkap ikan. Secara struktural ekonomi nelayan mirip dengan ekonomi petani, antara lain berskala kecil, peralatan dan organisasi pemasaran masih relatif sederhana. Meskipun demikian, jika dilihat dari sudut pandang perilaku ekonomi maka kehidupan nelayan sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan petani.
Dalam proses produksi, sejak awal petani telah terlibat secara langsung. Mereka harus menyiapkan lahan, membajak, dan menanaminya. Mereka juga terlibat terus hingga proses pasca tanam. Sebaliknya, dalam proses produksi nelayan tidak banyak terlibat. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan keterampilan teknis nelayan untuk memahami habitat ikan, arah arus, cuaca, musim ikan, dan sebagainya. Apabila mengalami paceklik hasil tangkapan, nelayan akan berpindah daerah tangkapan untuk sementara, atau paling jauh akan mencari daerah tangkapan baru (andun) yang diperkirakan masih banyak ikan. Ada kemungkinan pula mereka berhenti untuk sementara waktu guna menghindari kerugian yang lebih besar.
Perbedaan yang tajam antara petani dengan nelayan pada proses produksi, berakibat pola pendapatan yang kontras di antara mereka. Pendapatan petani cenderung lebih teratur, sebaliknya pendapatan nelayan tidak pernah teratur. Selain teratur, petani sedikit banyak memiliki gambaran mengenai besar pendapatan yang akan diperoleh setiap panen. Petani juga memiliki gambaran mengenai waktu panen berikutnya. Oleh karena itu, petani sangat hati-hati dalam membelanjakan pendapatannya sehingga cukup sampai panen berikut. Untuk menghindari risiko petani cenderung kepada hal yang telah mapan seperti mendirikan lumbung pangan atau lumbung paceklik dan kurang berani melakukan spekulasi. Sebaliknya, nelayan tidak pernah memiliki gambaran tentang pendapatan yang akan diperoleh. Bagi nelayan usaha penangkapan ikan bagaikan seni berburu yang penuh dengan spekulasi karena hasilnya sulit diperkirakan, semua serba meraba-raba dan tidak pernah pasti.
Biaya yang diperlukan nelayan dalam pelaksanaan usaha perikanan tangkap meliputi pengadaaan kapal, atau perahu, mesin, alat tangkap dan pengadaan alat bantu penangkapan. Di samping itu, diperlukan juga biaya perawatan kapal atau perahu, mesin, alat tangkap serta alat bantu penangkapan. Yang tidak kalah pentingnya adalah biaya perbekalan melaut, meliputi pembelian oli, bahan bakar minyak, es batu, garam, dan biaya konsumsi  nelayan selama melaut. Semua aspek yang menyangkut usaha perikanan tangkap memerlukan sumber pembiayaan agar usaha ini dapat berjalan dengan baik, dilihat dari sumbernya, sumber pembiayaan atau kredit usaha perikanan tangkap meliputi lembaga pembiayaan formal dan non formal.
Lembaga pembiayaan formal yang dapat diakses oleh usaha perikanan tangkap  antara lain, pembiayaan melalui sektor perbankan, lembaga keuangan nonbank, dan koperasi. Ketiga jenis lembaga tersebut masing-masing memiliki karakteristik sendiri. Namun prinsip dasar yang digunakan dalam penilaian calon nasabah relatif sama, yaitu berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential banking) dengan menerapkan konsep “5C” atau “the five C’s principles” bagi bank konvensional, yaitu character, capacity, collateral, capital, dan condition dimana kelima prinsip tersebut relatif sulit dipenuhi nelayan untuk mendapatkan kredit atau pembiayaan.  Baik sektor perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank (LKBB), dan Koperasi tidak dapat diandalkan dalam memberikan akses pembiayaan kepada nelayan. 
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2005-2009, alokasi kredit untuk perikanan sedikit naik dari 0,22% menjadi 0,23% dari total kredit perbankan. Bank Indonesia telah mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan lembaga keuangan formal tidak tertarik untuk menyalurkan pembiayaan ke subsektor perikanan tangkap, antara lain masalah pemahaman karakteristik risiko, dan masalah agunan. Bank hingga saat ini belum mempunyai metode khusus untuk menilai risiko kredit subsektor perikanan tangkap. Akibatnya tidak ada skim khusus untuk nelayan sehingga kredit untuk perikanan tangkap sulit disalurkan. Perbankan takut gagal bila menyalurkan kredit kepada nelayan karena subsektor perikanan tangkap mempunyai volatilitas yang tinggi sehingga dianggap sangat beresiko. Selanjutnya mengenai masalah agunan, sistem dan metode agunan yang diterapkan masih mengikuti pola kredit umum. Pola ini sangat memberatkan nelayan. Agunan yang diminta bank biasanya berbentuk surat tanah atau buku pemilikan kendaaan bermotor (BPKB), sementara perahu beserta alat tangkap yang merupakan aset terbesar nelayan tidak bisa diterima sebagai agunan.
Permasalahan pembiayaan pada sektor perikanan tangkap membuat kebutuhan nelayan untuk mendapatkan pembiayaan dan permodalan dari lembaga pembiayaan fomal sulit diperoleh. Oleh karena itu, mereka harus mencari alternatif pembiayaan dengan meminjam dari para tengkulak,pengambak, pedagang, atau rentenir dengan bunga relatif lebih tinggi. Meskipun mahal, meminjam kepada tengkulak “lebih disukai” nelayan karena mudah, tidak perlu agunan dan proses pencairannya cepat. Selain itu, faktor saling mengenal juga sangat berpengaruh dalam mendapatkan modal. 
Hubungan antara nelayan dengan tengkulak tengkulak,pengambak, pedagang, atau rentenir  (lembaga pembiayaan informal) dikenal dengan hubungan patron-klien. Patron-klien merupakan tata hubungan yang memungkinkan terwujudnya institusi jaminan sosial ekonomi. Secara ekonomi, hubungan patron-klien menampakkan kecenderungan yang bersifat eksploitatif karena patron lebih banyak menguasai sumber daya sehingga mampu memaksimalkan keuntungan begitu juga sebaliknya pihak nelayan yang berlaku sebagai klien memiliki kesempatan sangat kecil untuk memaksimalkan keuntungannya. Meskipun demikian, di kalangan masyarakat nelayan eksploitasi yang terjadi cenderung dianggap lebih baik karena mereka tidak  memiliki alternatif lain dalam menemukan sumber kredit atau pinjaman untuk modal melaut.
tata hubungan patron-klien umumnya berkenaan dengan (1) hubungan di antara pelaku yang menguasai sumber daya tidak sama; (2) hubungan bersifat khusus (particularistic), yaitu hubungan pribadi yang mengandung keakraban (affectivity); (3) hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan, saling memberi, dan saling menerima. Tata hubungan seperti ini yang cenderung terjadi pada masyarakat nelayan, sebagai akibat pendapatan yang tidak pernah teratur. Pendapatan yang tidak pernah teratur memengaruhi fenomena sosial pada masyarakat nelayan yang sangat dominan. Salah satunya adalah hubungan sosial yang terjalin atas dasar utang-piutang untuk memenuhi kebutuhan di saat menghadapi krisis.
            Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984), menunjukkan bahwa pola hubungan patron-klien telah menciptakan kemiskinan pada masyarakat nelayan. Stuktur patron yang disebut toke atau pemborong sangat mendominasi sumber ekonomi nelayan yang menjadi klien dalam komunitas dimana  sumber permodalan yang dimiliki oleh tengkulak,pengambak, pedagang, atau rentenir  (lembaga pembiayaan informal) dan ketergantungan nelayan kepada lembaga pembiayaan informal untuk mendapatkan modal investasi dan modal oprasional telah “mewajibkan” nelayan menjual hasil tangkapannya kepada lembaga pembiayaan informal seperti tengkulak, pengepul, atau pengambak. Hubungan patron-klien yang terjadi adalah pengepul selaku patron berkewajiban menyediakan dana untuk kebutuhan sebagian modal produksi, modal oprasional, dan saat nelayan mengalami paceklik. Kewajiban nelayan selaku klien adalah menjual hasil tangkapan kepada pengepul yang menjadi patron dengan harga yang relatif tidak elastis dan masih harus di potong untuk angsuran pinjaman. Fenomena tersebut terjadi hampir di seluruh komunitas nelayan seperti pada daerah Jepara (Jawa Tengah), Parongsongan (Madura) dan Puger wetan (Jawa Timur).
Berdasarkan pertimbangan bahwa sektor perikanan tangkap merupakan sektor vital dalam perekonomian, dan masalah pembiayaan yang dihadapi perikanan tangkap nasional akibat lembaga pembiayaan formal yang tidak fleksibel dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya nelayan maka diperlukan solusi pemecahan masalah tersebut. Beberapa solusi altenatif dapat diterapkan sebagai landasan kebijakan pemerintah untuk mengakomodasi akses nelayan dalam mendapatkan kredit yang berasal dari lembaga keuangan formal berbiaya murah. Lembaga berbasis bagi hasil relatif cocok dan sesuai dengan karakter serta budaya ekonomi nelayan tangkap. Lembaga pembiayaan formal juga perlu mengadopsi pola-pola pembiayaan informal yang telah mengakar pada komunitas nelayan. Lembaga keuangan formal nelayan baiknya melaksanakan pembiayaan berbasis bagi hasil dengan lingkup usaha terbatas. Wilayah kerja lembaga bisnis berbasis bagi hasil ini terbatas pada suatu komunitas nelayan tertentu. Pengelola lembaga pembiayaan diusahakan adalah masyarakat lokal sehingga hubungan antara pengelola dengan masyarakat sangat intens. Mereka harus mampu membangun hubungan emosional dengan para nelayan melalui kunjungan silaturahmi dan secara berkala menyampaikan makna ekonomi bagi hasil. Ikatan emosional harus dibangun melalui pendekatan secara personal dan melakukan pendampingan usaha.
Lembaga pembiayaan harus memahami filosofi bahwa dasar memberikan pinjaman bukanlah nilai ekonomi agunan yang diserahkan tetapi yang harus dipahami adalah prospek usaha calon nasabah. Mungkin saja nilai agunan relatif besar, tetapi kalau prospek usaha tidak meyakinkan maka jumlah pembiayaan yang diberikan harus sedikit atau bahkan ditolak. Demikian pula sebaliknya, jika prospek usaha sangat baik, meskipun agunan kecil maka dapat diberikan pinjaman lebih banyak daripada seharusnya.
Nelayan adalah masyarakat yang tidak terbiasa dengan urusan administatif sehingga perlu dilakukan penyederhanaan urusan administrasi. Kalau belum ada tanda (signal) dana pembiayaan disetujui, tidak perlu dituntut administrasi yang sulit. Setelah pembiayaan disetujui, baru diminta menyelesaikan masalah administrasi. Untuk meminimalkan risiko, lembaga pembiayaan harus tetap mengutamakan kriteria yang menjadi pertimbangan bank dalam melakukan analisis kredit/pembiayaan kepada nasabah. Meskipun demikian, yang utama harus diperhatikan adalah character (watak), capacity (kapasitas), dan condition (kondisi perekonomian pada umumnya). Adapun capital (permodalan) dan collateral (jaminan) cukup dijadikan sebagai penunjang.
Terakhir jika pembiayaan akan diberikan kepada kelompok maka keberadaan  dan  peran kelompok harus ada terlebih dahulu. Kelompok tidak boleh dibentuk secara instan untuk keperluan mendapatkan dana pembiayaan. Kelompok harus sudah terbentuk terlebih dahulu berdasarkan kebutuhan nelayan dan mempunyai visi anggota yang sama. Kelompok inilah yang paling mengetahui dan memahami kebutuhan anggotanya. Ketua kelompok telah benar-benar dipahami karakter, kejujuran, dan kebijaksanaannya oleh anggota. Peran ketua kelompok yang adil dan bijaksana sangat penting untuk mengalokasikan pinjaman yang diberikan anggota kelompok. Pinjaman tidak harus dialokasikan sama rata kepada angggota kelompok, tetapi harus adil. Anggota yang membutuhkan biaya untuk menambah alat tangkap, diberi seharga alat tangkap. Demikian pula yang hanya membutuhkan untuk perbekalan, diberikan seharga perbekalan melaut. Selain itu, fungsi ketua kelompok adalah melakukan pembukuan dan menerima angsuran dari nelayan untuk disetorkan kepada pemberi pinjaman.
Selain perbaikan dari sisi lembaga keuangan formal, perbaikan juga perlu dibangun dari sisi nelayan. Berdasarkan UU No. 31/2004 tentang perikanan, pasal 26,27,28 menyebutkan, setiap orang atau badan hukum di Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang penangkapan dan atau pengangkutan ikan di Wilayah Pengelolaaan Perikanan (WPP) Indonesia wajib memiliki : (1) Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP); (2) Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) untuk penanaman modal; (3) Surat Iziin Penangkapan Ikan (SIPI); (4) Surat Izin Pengangkutan Ikan (SIKPI). Sementara fakta di lapangan menunjukkan usaha perikanan tangkap belum memiliki legalitas usaha walaupun rata-rata kapal yang dimiliki nelayan berukuran antara 10 GT sampai 15 GT. Bila seorang nelayan memiliki dua buah kapal berukuran  15 GT maka nilai aset bisa lebih dari p. 1 Miliar. Dikaitkan dengan kriteria usaha menuut Undang-Undang UMKM maka usaha ini termasuk kategori usaha menengah. Kriteria ini sangat penting karena bila berhadapan dengan institusi formal seperti lembaga pembiayaan perbankan, tentu akan menilai usaha dari legalitas yang dimiliki. Oleh karena itu, kesadaran nelayan akan pentingnya legalitas perlu ditingkatkan agar peluang akses ke sumber pembiayaan formal lebih mudah.
Nelayan pada umumnya tidak memiliki cukup jaminan sebagai syarat untuk memperoleh kredit karena aset yang dimiliki hanya tanah yang belum bersertifikat dan kapal yang tidak diasuransikan. Jaminan merupakan syarat mutlak yang diperlukan oleh lembaga pembiayaan. Apalagi untuk pembiayaan skala besar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebenarnya pemerintah telah  melaksanakan  program sertifikasi aset nelayan sebagai pemecahan masalah jaminan. Program Sertifikasi Hak Atas Tanah (SEHAT) yang dirancang oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu mendapat prioritas. Sasaran utama program “Sehat Nelayan” adalah memberikan status hukum atas kekayaan (aset) milik nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil serta memberikan jaminan pada nelayan untuk meningkatkan kualitas pemukiman yang layak, permanen, dan sehat. Sasaran lain adalah meningkatkan kualitas kepastian usaha nelayan melalui kepemilikan aset berupa tanah yang dapat didayagunakan sebagai agunan untuk mengakses permodalan serta meningkatkan minat serta kepercayaan lembaga keuangan/perbankan untuk menyalurkan kredit kepada nelayan skala kecil.
Tidak hanya itu, karakter kegiatan perikanan tangkap yang sangat beresiko perlu “didampingi” oleh keberadaan asuransi kapal nelayan. Kabar baiknya sudah ada sebanyak tujuh perusahaan asuransi swasta yang membentuk konsorsium asuransi penjamin kapal nelayan supaya kapal ikan bisa dijadikan agunan kredit. Langkah itu untuk memecahkan kebuntuan akses permodalan nelayan ke perbankan. Konsorsium perusahaan asuransi  itu terdiri atas PT Mega Pratama, PT Asuransi Tafakul Indonesia, PT Asuransi Himalaya Pelindung, PT Asuransi Binagriya Upakara, Malaysian Assurance Alliance Berhad, PT Asuransi Intra Asia, dan PT Asuransi Jasa Tania Tbk. Dengan adanya penjaminan asuransi kapal nelayan, setiap nelayan bisa mendapat kredit hingga mencapai Rp. 1 Milyar untuk tenor kredit selama lima tahun. Adapun nilai premi asuransi kapal nelayan adalah 3,5% dari nilai kapal.
          Masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteran paling rendah dibanding anggota masyarakat lainnya dimana menurut hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat PMP pada tahun  2006, sebanyak 32,14 % dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan indikator pendapatan US$ 1 per hari. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga nelayan berbanding terbalik dengan kekayan laut yang begitu besar di wilayah pesisir. Usaha perbaikan pada sistem pembiayaan perikanan tangkap adalah angin segar bagi kesejahteraan nelayan.  Jika “wajah” pembiayaan perikanan tangkap membaik maka tentunya akan banyak merubah “wajah” kesejahteraan nelayan. Kita masih memiliki waktu untuk berbenah, masih banyak cara dan solusi yang dapat dilakukan baik pemerintah, stake holder, dan masyarakat nelayan untuk memperbaiki keadaan. Hidup Nelayan Indonesia !
Bahan Bacaan :
BPS. 2015. Kecamatan Puger dalam Angka 2015. Jember : BPS Kabupaten Jember.
Daryanto, Arief. 2007. Dari Kluster menuju peningkatan daya saing industri perikanan. Buletin Craby & Staky, edisi Januari 2007.
Fauzi, A. 2007. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Hapsari, Y.T. dan Fuad, A.D. 2017. Manajemen Rantai Pasokan Pada Masyarakat Nelayan Tradisional (Studi Kasus Pada Nelayan Puger Jember). Gulawentah. 2(2):67-68.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2016. Kelautan dan Perikanan dalam Angka.  Jakarta : Pusat data statistik KKP.
Lubis, E., Pane, A.B., Muninggar, R. dan Hamzah, A. 2014. Besaran Kerugian Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Maspari Journal4(2):159-167.
Moegni, Nurtjahja, Ahamd R. dan Gigih P. 2014. Adaptasi Nelayan Perikanan Laut Tangkap dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Ekonomi dan Studi Pembangunan, 15(2) : 182-189.
Muflikhati, Istiqlaliyah., dkk. 2010. Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat. Ilm. Kel dan Kons, 3(1) : 1-10.
Mubyarto dkk (1984). Nelayan dan Kemiskinan : Studi Kasus Ekonomi Antropologi di Dua desa panta, Jakarta Rajawali Press
Nadjib, Mochammad. 2013. Sistem Pembiayaan Nelayan. Jakarta: LIPI Press.
Retnowati, Endang. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum). Perspektif.16(3): 149-159.
Sufirudin. 2016. Hubungan Patron Klien Diantara Masyarakat Nelayan Di Desa Kangkunawe Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara. Holistik. 9(17): 1-20.
Wijayani, Fika. 2016. Strategi Keluarga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan. Skripsi. Diterbitkan. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Yogyakarta, Yogyakarta.

No comments