Hoax kini akrab terdengar di
telinga warga dunia, begitu juga di Indonesia. Semua kalangan sudah familiar dengan
kata ini baik Anak-anak, Orang tua, Karyawan swasta hingga Pegawai sipil, seiring
dengan meningkatnya akses informasi digital oleh masyarakat yang tidak terbatas
pada usia, profesi dan latar belakang pendidikan. Seorang penjual bakso gerobak
pengguna internet, mungkin mahir mengucapkan kata hoax dalam kesehariannya,
tidak jauh berbeda dengan mahasiswa suatu kampus. Pengertian hoax dapat dengan
mudah diperoleh dari berbagai sumber. Menurut KBBI, hoax diartikan sebagai berita
bohong. Sementara pada situs hoaxes.org
pengertian hoax mengarah sebagai aktifitas menipu misalnya, ketika sebuah surat
kabar dengan sengaja mencetak cerita palsu, aksi publisitas yang menyesatkan dan
klaim politik palsu.
Hoax di Indonesia mulai “digandrungi” menjelang
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa tahun silam. Tentu publik masih ingat
betul dengan kasus Buniyani yang mentranskrip video pernyataan Gubernur DKI
Jakarta, kemudian disebar dan viral hingga berujung penetapan Ahok sebagai
tersangka penistaan agama. Persaingan head-to-head
antara Anies-Sandi dan Ahok-Djarot pada Pilgub penuh diwarnai hoax, mulai dari isu
KTP palsu, Jakarta bersyariah jika Anies-Sandi menang, hingga server KPU di
tingkat kelurahan dibobol hacker. Sangat
disayangkan dampak hoax tersebut masih terasa hingga saat ini meskipun Pilgub
telah usai dan Gubernur terpilih telah dilantik.
Pemilihan presiden pada
April 2019 mendatang tampaknya akan menghadapi pola yang sama. Bercermin dari
kasus Pilgub dan Pilkada di beberapa daerah, hoax menjelma menjadi senjata pamungkas dalam memenangkan pertarungan
demokrasi. Penelitian Masyarakat Telematika Indonesia tahun 2017 mengenai
“Wabah Hoax Nasional” mengatakan bahwa 91,80% konten hoax yang beredar mayoritas
berisi isu Pilkada dan Pilpres. Sejauh ini sudah ada 62 Hoax Pemilu 2019 yang dirilis KOMINFO, dua diantaranya pernyataan
Sandiaga tidak yakin Indonesia raih juara di Asian Games 2018, hingga
penganiayaan Ratna Sarumpaet yang cukup menggemparkan publik pada Oktober tahun
lalu.
Serangan hoax yang kian
masif didukung fakta tertangkapnya sindikat kelompok kejahatan siber, Saracen.
Sang “Raksasa Hoax” menjadi gambaran sisi gelap penggunaan internet dan sosial
media di Indonesia. Saracen telah membuka mata kita bahwa berita bohong saat
ini bukan sekedar berita yang dibuat oleh individu untuk “main-main”. Kenyataannya
terdapat fenomena penyebaran berita hoax yang telah diproduksi dan dijadikan
sebuah bisnis oleh kelompok tertentu untuk digunakan sebagai alat politik
kepentingan dalam meraih kursi kekuasaan.
Banyak pengamat Sosial Media mengatakan bahwa
Indonesia telah memasuki babak baru dalam dunia digital yaitu era “dark social media”. Penelitian MASTEL
(2017), menyatakan sebanyak 92,40% hoax dihembuskan melalui sosial media.
Sebanyak 62,80% hoax disalurkan melalui WhatsApp
dan Telegram. Hal tersebut lebih
berbahaya karena orang-orang di dalam Aplikasi Chatting tersebut terikat secara emosional dibandingkan Facebook atau Twitter yang lebih general.
Pada beberapa kasus,
sasaran utama Hoax adalah imigran digital,
yaitu generasi yang lahir sebelum adanya teknologi digital. Para imigran
digital ini adalah sosok yang kredibel di lingkungannya, bayangkan saja jika
seorang dosen menjadi korban berita bohong dan menyebarkannya melalui sosial
media atau saat perkuliahan, tentu impact-nya
akan sangat masif sebagaimana diungkapkan MASTEL tahun 2017, 42,10% responden
menyatakan alasan hoax mudah dipercayai karena berita didapatkan dari sosok
yang terpercaya.
Genderang
Pilpres sudah ditabuh, tak khayal jika wabah hoax akan menyerang siapa saja.
Eksistensi hoax akan mempengaruhi ajang demokrasi terbesar tahun ini, hoax di
tengah proses Pemilu 2019 memecah konsentrasi publik. Publik seharusnya
disibukkan menilai sejauh mana visi-misi
capres dan cawapres, siapakah yang menawarkan solusi konkrit guna pembangunan
nasional. Kenyataannya meskipun pemilu sudah hitungan minggu, kita masih belum
mengenal dengan baik sosok calon pemimpin Indonesia lima tahun mendatang karena
lalu-lalangnya hoax di berbagai media.
Hoax
tidak hanya mencemari Pemilu April mendatang tapi juga berdampak pada kehidupan
sosial dan bernegara masyarakat Indonesia. Secara umum masyarakat kini
terpolarisasi menjadi tiga kelompok besar, yaitu pendukung paslon No.01,pendukung
paslon No.02, dan silent majority yang
masih belum menentukan pilihan. Gesekan antar kelompok pendukung sangat riskan
terjadi dimana kita ketahui bersama kefanatikan para suporter terus diasah oleh
tim pemenangan masing-masing kubu. Maka ketika hoax berbau SARA didesain untuk menyerang
identitas salah satu paslon bukan tidak mungkin akan memupuk intoleransi. Hal
ini sangat bertentangan dengan kebhinnekaan Indonesia dan mengancam kerukunan
bangsa.
Berdasarkan
fakta di atas harus kita sadari bersama bahwa kini Indonesia Darurat Hoax, sehingga diperlukan upaya komprehensif
untuk mengatasinya. Pemerintah telah menyiapkan berbagai instrumen untuk
mengamankan negara dari hoax. Secara hukum terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur untuk menjerat pelaku pembuat dan penyebar
hoax, yaitu antara lain Pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14
dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta UU
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis.
Pemerintah
juga sudah membentuk satgas mafia hoax yaitu Kementrian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia (KOMINFO) dan POLRI khususnya Divisi Cyber Crime. MENKOMINFO Rudiantara, menuturkan
terdapat sekitar 1000 situs yang diblokir karena memuat hoax. Selain itu, KOMINFO melakukan
penyisiran berita hoax secara kontinyu melalui situs stophoax.id, sehingga ada identifikasi berita apakah dusta atau
fakta. POLRI juga telah proaktif memerangi hoax dengan menggeber Cyber patrol yang berkoordinasi dengan Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Bagi siapa saja yang kini kedapatan meproduksi dan
menyebarkan hoax akan diganjar pidana.
Bias
informasi yang dikonsumsi publik antara dusta dan fakta menjelang Pilpres,
nyata menjadi kegelisahan tersendiri di Indonesia. Melihat jumlahnya yang
fantastis dan diproduksi setiap saat, tentu tidak mungkin jika perang melawan
hoax hanya mengandalkan tangan-tangan pemerintah. Sejauh ini sudah banyak
komunitas anti hoax yang berkonsentrasi memberangus hoax antara lain, Forum
Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH); Indonesian
Hoax Buster; TurnBackHoax, dan
masih banyak lagi.
The
Last but Not The Least, Kualitas Pemilu akan sangat
ditentukan oleh imunitas masyarakat akan hoax. Hal tersebut dapat diciptakan
melalui edukasi yaitu, literasi media. Literasi media adalah pembenaman dalam diri
pengguna internet kemampuan untuk menganalisis dan mendekonstruksi pencitraan
media. Diharapkan dengan cara ini agar ketika seseorang bersentuhan dengan
internet ia melek terhadap informasi yang diakses,sehingga tidak menjadi
individu labil dan mudah dipengaruhi. Karena ada narasi yang harus dirubah dari
“Think before share” menjadi “Do your part” dimana masyarakat punya
andil besar dalam menghentikan hoax yang mencacati proses demokrasi. Pilpres memang
semakin dekat, tapi harapan akan suksesnya Pemilu 2019 yang damai,berkualitas,
dan bermartabat akan selalu ada dan hanya dapat terwujud jika kita semua
bergandengan tangan mengangkat senjata untuk
memerangi hoax.
REFERENSI
https://kbbi.kemdikbud.go.id/ diakses pada
19 Februari 2019
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax#translations diakses pada 19
Februari 2019
http://hoaxes.org/Hoaxipedia/What_is_a_hoax diakses pada 19
Februari 2019
https://www.kominfo.go.id/content/detail/8791/turnbackhoax-komunitas-online-anti-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media diakses pada 21
Februari 2019
Juliswara,Vibriza.
2017. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan
dalam
Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, Jurnal Pemikiran
Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017
Institute,
The Indonesian. 2017. Update Indonesia : Tinjauan Bulanan Ekonomi,Hukum,
Keamanan,Politik dan Sosial, Volume XI, No. 7 – September 2017 ISSN 1979-1984
Masyarakat
Telematika Indonesia, Hasil Survey Mastel Tentang Wabah HOAX Nasional, 2017,
hlm 13 – 18
Mardina,
Riana. 2017. Potensi Digital Natives Dalam Representasi Literasi Informasi
Multimedia Berbasis Web di Perguruan
Tinggi, Jurnal Pustakawan Indonesia Volume 11 No. 1
Pratama,
Ronny K. 2018. Saracen, Literqasi dan Distorsi Informasi diterbitkan oleh Geo
Times
Septanto,
Henri. 2018. Pengaruh HOAX dan Ujaran
Kebencian Sebuah Cyber Crime Dengan
Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial
Masyarakat, Kalbiscentia,Vol. 5 No. 2
Agustus 2018
No comments