Sudah
ratusan tahun emansipasi digerakkan di bumi pertiwi oleh sang Raden Ajeng.
Sebagai wanita Indonesia yang hidup di era modern, aku sangat bersyukur
memiliki kesempatan berkarir jauh melampaui kesempatan wanita pada masa Kartini
beberapa tahun silam. Tak bisa kubayangkan betapa sulitnya wanita saat itu
mengenyam pendidikan, mengutarakan gagasan atau ide, hingga berkarya sebagai
proses aktualisasi diri.
Kartini
telah menunaikan tugasnya dengan baik, kini saatnya perjuangan beliau kita
lanjutkan, karena emansipasi belum sepenuhnya hadir bagi seluruh wanita
Indonesia. Kebebasan wanita mengaktualisasi diri sudah terjamin secara umum,
namun berdasarkan pengalaman pribadi dan wanita sekelilingku, tidak sedikit
society yang masih beranggapan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
ataupun meniti karir dengan serius. Kondisi tersebut secara nyata menjadi limit
atau penghambat wanita dalam berkarir, begitu juga bagiku.
Hidup
di lingkungan transisi antara pedesaan dan perkotaan cukup banyak menempatkanku
pada posisi sulit terkait pilihanku untuk bekerja dan melanjutkan studi ke
jenjang magister. Ketika acara keluarga, atau sekedar berbincang dengan
tetangga, mereka kerap kali meyakinkanku untuk memikirkan kembali keputusanku
untuk bekerja dan melanjutkan studi magister. Mereka berpendapat sebaiknya
tidak perlu bermimpi tinggi-tinggi, karena wanita ujung-ujungnya akan berakhir
di dapur dan mengurus anak.
Sejalannya
waktu, bisikan-bisikan itu tumbuh menjadi tantangan yang harus aku taklukkan,
aku tidak lagi menganggap keberadaanya sebagai sebuah hambatan untuk maju ke
depan. Aku tidak tinggal diam, aku harus membuktikan bahwa mimpi seorang wanita
agar memiliki karir cemerlang dan pendidikan yang lebih baik bukanlah sebuah
anomali dalam kehidupan. Aku buktikan, aku dengan mimpi-mimpiku akan tetap
menjalankan kewajibanku sebagai seorang wanita di rumah dengan sebaik
mungkin. Dengan kedisplinan tingkat
tinggi, aku menjalani berbagai peran
baik di Rumah, di Kantor, maupun di lingkungan sekitar.
Di
Rumah aku harus bisa menghandle keperluan Ayah, dan Adik-adikku, semenjak Ibu tiada.
Memastikan sarapan sehat bagi mereka setiap hari, menyiapkan baju dan seragam
sekolah, hingga menjadi tempat curhat di malam hari.
Sementara itu, tanggung jawab di kantor tidaklah sedikit, aku juga harus
menjalankan komitmenku pada perusahaan. Dua puluh empat jam dalam sehari, harus
benar-benar termanfaatkan untuk hal positif. Aku juga memiliki beberapa
kegiatan lainnya, sambil menunggu perkuliahan S2 dan menyelesaikan kontrak
kerja pada Mei tahun ini, aku dan temanku mendirikan “Coaching LPDP 2019” sebagai
sebuah wadah untuk membantu temen-temen memperoleh beasiswa studi lanjut. Di
sela-sela waktu luang, aku menuangkan ide dan gagasan melalui tulisan dalam
berbagai forum, senang sekali jika bisa membagikan pengalaman kepada orang lain
dan berkembang bersama. Intinya, aku ingin seluruh energiku dihabiskan untuk
orang lain dan bermanfaat.
Berbagai
hal yang sudah aku lalui, menumbuhkan pemahaman akan karir, pendidikan dan juga
kewajiban domestik sebagai seorang wanita. Karir dan tanggung jawab tidak dapat
di kotak-kotakkan secara terpisah. Anggapan bahwa wanita yang pekerjaannya
hanya sebagai Ibu Rumah tangga bukanlah wanita yang cerdas, tentu salah besar.
Anggapan bahwa wanita yang berkarir di kantor atau mengenyam pendikan ke
jenjang yang lebih tinggi tidak akan mampu menjalankan tugasnya di Rumah dengan
seimbang juga bukanlah sebuah kebenaran. Aku rasa sudah banyak wanita hebat di
luar sana yang membuktikan bahwa karir bukanlah hambatan untuk tetap menjadi
Ibu atau Istri yang baik bagi keluarga. Jadi, society dan kaum adam tak perlu
cemas, wanita sehebat apapun karirnya di luar Rumah, nalurinya akan tetap
menuntunnya untuk kembali ke keluarga dan menjalankan peran domestiknya dengan
tuntas.
No comments