Kejayaan sektor garam nasional menjadi
kisah indah pada tahun 1990-an. Masyarakat kala itu menjadi saksi bagaimana
Indonesia mencapai swasembada garam konsumsi hingga menyandang predikat
pengekspor garam yang cukup disegani. Hal itu banyak didukung oleh luasnya
lahan tambak garam dan faktor alam lainnya yang menjadi penentu keberhasilan produksi.
Selain itu, mata pencaharian yang mengandalkan sumber daya laut merupakan
andalan masyarakat Indonesia. Namun, keadaan berbalik sejak kampanye
besar-besaran pentingnya penggunaan garam beryodium bagi kesehatan digaungkan
di tanah air oleh UNICEF yang berujung pada penarikan garam non yodium dari
pasaran.
Pemerintah
Indonesia kemudian menerbitkan Keputusan Presiden No. 69 Tahun 1994, yang
dijabarkan oleh Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian Nomor
29/M/SK/2/1995, tentang pengesahan dan penggunaan tanda Standar Nasional
Indonesia (SNI) secara wajib terhadap sepuluh macam pokok produk industri, dan
SK Menteri Perindustrian Nomor 77/M/SK/5/1995 tentang persyaratan teknis
pengolahan, pengemasan, dan pengolahan garam beryodium, yang isinya mengatur
supaya setiap produk kemasan dan label menggunakan garam beryodium serta
berupaya meningkatkan kualitas garam rakyat hingga memenuhi syarat SNI.
Sayangnya,
keseriusan pemerintah untuk mendukung kampanye garam beryodium tidak
ditindaklanjuti dengan keseriusan dalam merawat infant industry nasional, melalui subsidi, teknologi, riset, pengembangan
serta proteksi harga, hingga pengawasan impor yang ketat. Sehingga muncul
kompetisi yang sangat tidak berimbang antara produsen garam dalam negeri dan eksportir
garam. Setelah standar baru muncul, produsen dalam negeri harus berhadapan
langsung dengan eksportir luar negeri yang sudah jauh lebih siap. Sungguh jauh
dari bayangan bahwa negara yang pernah berjaya dengan produksi garamnya, sampai
saat ini justru menggantungkan hampir 70 persen kebutuhan garamnya dari pasokan
impor, terutama impor garam dari Australia dan Belanda (Abhisam dkk, 2011).
Berdasarkan
neraca garam nasional yang dirilis oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun
2015, diketahui bahwa kebutuhan garam nasional semakin meningkat dari tahun ke
tahun dengan laju peningkatan sebesar 4,29%. Kebutuhan garam dibagi atas 2
(dua) macam antara lain (1) garam konsumsi yaitu garam yang digunakan sebagai
bahan baku produksi bagi industri garam konsumsi beryodium (garam meja), untuk
aneka pangan (memiliki NaCl minimal 94,7 persen) dan pengasinan ikan; serta (2)
garam industri yaitu garam yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri farmasi,
industri kimia, industri aneka pangan, dan industri penyamakan kulit dengan
kadar NaCl minimal 97 persen.
Kebutuhan
garam nasional tahun 2015 mencapai 3,75 juta ton, jumlah ini meningkat sebesar
6,16 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 3,53 juta ton.
Kebutuhan garam nasional terbesar bersumber dari garam industri. Pada tahun
2016, sebesar 65,25 persen atau 2,45 juta ton kebutuhan garam nasional berasal
dari permintaan industri dan sisanya berasal dari kebutuhan garam konsumsi
dengan jumlah 1,30 juta ton. Sejauh ini, kebutuhan garam konsumsi dapat
dipenuhi dengan produksi garam dalam negeri. Sementara, Kebutuhan garam
industri dengan standart kandungan NaCl yang lebih tinggi sebagian besar
dipenuhi oleh pasokan impor. Sebagai contoh, pada tahun 2014 sebanyak 2,16 juta
ton berasal dari keran impor (BPS, 2015).
Produsen
garam dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan garam industri dikarenakan
ketidakmampuannya dalam memproduksi garam dengan kualitas tinggi sesuai
standart yang ditetapkan. Berdasarkan studi
KKP (2015), pembuatan garam di Indonesia yang umumnya melalui metode solar evaporation pada areal petak yang
kecil mengakibatkan kualitas garam yang dihasilkan bervariasi. Kandungan NaCl
garam hanya berkisar 81-96%. Riset yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran
pada 42 Kabupaten (penerima program
PUGAR) juga mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Garam yang diproduksi
masyarakat memiliki kandungan NaCl 92,69%.
Permasalahan
pergaraman nasional tidak hanya pada kualitas garam yang dihasilkan namun juga
dari segi kuantitas. Menurut Dharmawan (2018), usaha tambak garam di Indonesia sebagian
besar dijalankan sebagai mata pencaharian musiman (musim kemarau) di mana
petani garam seringkali hanya memanfaatkan waktu jeda pada usaha tambak udang.
Selain itu, luas areal tambak masyarakat rata-rata 0,5-3 hektar dengan lokasi
yang terpencar-pencar. Kondisi demikian menjadi faktor yang berkontribusi
mengapa produktivitas garam di dalam negeri masih rendah. Sebagai contoh, produktivitas
perusahaan garam nasional yaitu PT. Garam tidak lebih dari 70 ton/hektar. Angka
ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat menghasilkan
garam dengan produktivitas yang mencapai 350 ton/hektar.
Faktor
lain yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas garam nasional yaitu
teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta
produksi garam yang sangat bergantung pada cuaca yang secara umum hanya
memungkinkan memproduksi garam dalam waktu 4 bulan (KKP, 2014). Masa produksi
ini jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan Australia yang memliki masa
produksi hingga 8 bulan per tahun sehingga menghasilkan garam yang jauh lebih
banyak dengan kualitas tinggi. Keadaan diperparah dengan fenomena “kemarau
basah” yang dapat mengakibatkan penurunan produksi hingga 30%. Namun, di era revolusi industri 4.0
seharusnya faktor alam bukanlah penghalang berarti bagi kegiatan produksi
dengan melibatkan peran teknologi.
Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan keinginan
dan perintah dari Presiden Joko Widodo agar Indonesia dapat menjadi negara
swasembada garam pada 2020 mendatang. Namun, jika permasalahan kualitas dan
kuantitas pergaraman nasional tidak segera ditangani maka swasembada hanya akan
menjadi cita-cita tanpa realisasi. Riset dan Teknologi memegang peranan penting
sebagai jembatan menuju swasembada. Salah satu teknologi yang dapat dilakukan
guna meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam yaitu melalui Rumah
Prisma Zeloit Alam (RUPZA). Petani yang memproduksi garam menggunakan rumah
prisma tidak akan bergantung pada cuaca. Pada musim hujan, kebanyakan petani
garam tidak memproduksi garam karena terbatasnya sinar matahari, sehingga
kristalisasi garam tidak berhasil (Syamsiana, 2017).
Penggunaan
teknologi ini akan menghemat waktu untuk produksi garam dari 14 hari menjadi 4
hari. Kelebihan lainnya, penggunaan teknologi ini dapat meningkatkan
produktivitas garam hingga 120-125 ton garam per hektar. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Juameri dkk tahun 2017 mengungkapkan bahwa proses rekristalisasi
menggunakan zeolit alam sebagai pengikat impuritas dapat digunakan secara efektif dalam pemurnian garam dapur
dimana garam hasil kristalisasi mempunyai kadar NaCl tertinggi (98,73%). Bisa
dibayangkan jika 80 persen petani tambak garam menerapkan teknologi ini.
Tentunya akan merealisasikan peningkatan kualitas (kadar NaCl 98,73%) dan juga
peningkatan produktivitas (120-125 ton/ha) garam. Dengan terpenuhinya standart
kualitas dan kuantitas garam di dalam negeri, akan dapat memenuhi permintaan
garam industri yang selama ini masih bergantung pada pasokan impor.
Indonesia
merupakan negara maritim dengan garis pantai terpanjang ke empat di dunia (Badan
Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, 2016). Namun, potensi tersebut tidak optimal
karena hanya sebagian kecil garis pantai yang diberdayakan sebagai lahan tambak
garam. Sehingga untuk mengejar target swasembada garam pada 2020 yang berarti
terpenuhinya kebutuhan garam nasional baik garam konsumsi dan garam industri,
mau tidak mau diperlukan upaya ekstensifikasi. Rencana pemerintah melakukan
perluasan lahan tambak garam pada beberapa daerah patut diapresisasi.
Ekstensifikasi akan direalisasikan pada Nusa Tenggara Timur mencakup Bipolo,
Nagekeo, dan Teluk Kupang. Nusa Tenggara Timur dipilih karena memiliki musim
panas sepanjang tahun (6-7 bulan) dan potensi lahan tambaknya yang luas (25.000 Ha). Ekstensifikasi juga
dilakukan di Aceh dimana sudah ada sekitar 15.000 hektar yang siap dijadikan lahan
tambak garam. Keseriusan pemerintah dalam meningkatkan produksi garam dalam
negeri juga ditunjukkan dengan rencana membangun refinery garam di garis pantai Pulau Madura. Namun kajian mengenai
dampak pembangunan refinery tersebut
terhadap lingkungan juga tak boleh diacuhkan agar tidak merugikan dalam jangka
panjang.
2020
sudah di depan mata, masih banyak yang bisa kita lakukan guna mewujudkan
swasembada garam. Jalan menuju swasembada garam bukanlah jalan yang mudah,
penuh terjal, penuh tantangan tapi juga penuh harapan. Lagi-lagi persoalan
garam bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kolaborasi antara masyarakat,
Kementrian Perindustrian (KEMENPERIN), Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP),
Badan Pengkajian Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI), serta Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN) diperlukan guna merealisasikan swasembada garam ke dalam
langkah-langkah nyata dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas garam dalam
negeri. Garam sudah menjelma menjadi komoditas strategis, tanpa garam, industri
kimia, industri farnasi, dan industri aneka pangan tidak dapat berproduksi,
yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya industri akan
sangat berkontribusi pada penyerapan lapangan kerja yang jumlahnya tidak
sedikit karena multiplier effect yang
dihasilkan. Sehingga persoalan garam, adalah persoalan kita bersama. Mari
berkontribusi.
Reference :
Abhisam.,Hasriadi,Ary.,Harlan,Miranda.
2011. Membunuh Indonesia : Konspirasi
Global Penghancuran Kretek. Jakarta Selatan : Penerbit Kata-kata.
Badan
Pusat Statistik (BPS). 2015. Distribusi
Perdagangan Komoditi Garam Indonesia. Diunduh dari www.bps.go.id tanggal 22
Mei 2019.
Badan
Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan. 2016. Info Komoditi Garam. Jakarta : Badan Pengkajian dan Pengembangan
Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dan IKAPI DKI Jaya
Jumaeri
dkk. 2017. Inovasi Pemurnian Garam
(Natriun Klorida) Menggunakan Zeolit Alam sebagai Pengikat Impuritas dalam
Proses Kristalisasi. Jurnal UNNES Vol. 15. No 2.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). 2014. Laporan
Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. Jakarta: Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). 2015.
Laporan Kinerja Kementerian Kelatuan dan Perikanan Tahun 2014. Diunduh
tanggal 22 Mei 2019 dari http://kkp.go.id/assets/uploads/2015/03/
Salmon,
Tarsi. 2019. NTT Punya Potensi Garam Luar
Biasa https://voxntt.com/2019/02/21/ntt-punya-potensi-garam-luar-biasa/41482/ diakses pada 23 Mei 2019.
Syamsiana,
Nur’aini Arifah. 2017. Peningkatan
Kualitas dan Kuantitas Garam Indonesia melalui RUPZA (Rumah Prisma Zeloit Alam)
https://www.garampedia.com/peningkatan-kualitas-dan-kuantitas-garam-indonesia
melalui-rupza-rumah-prisma-zeloit-alam diakses pada 23 Mei 2019.
No comments