Sejarah tidak akan menghapus krisis moneter
tahun 1998 dari daftar peristiwa bersejarah negeri ini. Kala itu mata uang
rupiah terpuruk. Bahkan nilai tukar rupiah pernah mencapai Rp 16.800/dollar AS,
terlemah sepanjang sejarah. Gejolak rupiah berimbas ke seluruh sendi
perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspansi dengan bermodalkan
utang dari luar negeri, harus membayar utang yang membengkak karena pelemahan
rupiah. Perbankan pun terkena imbasnya, banyak Bank yang akhirnya harus
dilikuidasi.
Di tengah caruk-maruk perekonomian
nasional, Koperasi dan UMKM menjadi hampir satu-satunya fondasi ekonomi yang
tetap kokoh di tengah badai krisis moneter. Saat nyaris seluruh perusahaan raksasa
dengan modal asing kolaps karena rupiah melemah, koperasi menjadi cahaya bagi
negeri. Koperasi tanpa pamrih melayani pinjaman masyarakat, ketika hampir semua
Bank menolak. Koperasi sebagai soko guru perekonomian menunjukkan tajinya, sehingga
kala itu kepercayaan (trust)
masyarakat tehadap koperasi tumbuh positif.
Indonesia
di antara Ekonomi Digital dan Ekonomi Kreatif
Beberapa tahun belakangan, Ekonomi
global cukup dihebohkan dengan adanya Revolusi
Industri 4.0. Begitu juga dengan Indonesia, Revolusi Industri 4.0 muncul
sebagai sebuah fenomena baru yang mempengaruhi iklim ekonomi secara signifikan.
Digitalisasi merubah pola perilaku konsumen, dimana semua maunya serba online. Pelaku-pelaku bisnis baru dan
lama mau tak mau harus beradaptasi dengan perubahan ini. Mulai dari pelaku
bisnis transportasi, agen travel, mall sampai hotel menggandeng teknologi untuk
meraih market.
Ekonomi digital tumbuh diluar dugaan.
Sudah ada empat start up yang masuk kategori unicorn, diantaranya Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, dan Go-jek. Hal
ini cukup beralasan dengan terbangunnya ekosistem digital di Indonesia. We Are
Social merilis ada 132,7 juta penduduk Indonesia melek internet. Itu sama
dengan separuh dari jumlah penduduk negeri ini, yang mencapai 265,4 juta per
Januari 2018. Dari angka itu 130 juta di antaranya aktif menggunakan platform
media sosial dan 120 juta di antara mereka mengakses lewat ponsel pintar.
Nasib mujur ekonomi digital juga diikuti
dengan ekonomi kreatif yang bermekaran bak cendawan di berbagai Kota. Lima
tahun belakangan tak terhitung berbagai bisnis kekinian karya anak muda yang memanjakan
preferensi konsumen. Satu diantaranya merebaknya fenomena kedai kopi di
beberapa Kota besar, dimana tua muda ngopi di kedai dengan rantai nilai ekonomi
yang memanjang dari hulu hingga hilir. Rhenald Kasali menyebutnya sebagai esteem economy, dimana ada gaya hidup
baru yang menghubungkan antara kebutuhan dan eksistensi seseorang dalam
mengkonsumsi sesuatu. Bukan hanya ngopi dan makan di kafe, tapi sekaligus update foto di jejaring online.
Indonesia
Memasuki Babak Baru
Menuju
Indonesia Emas 2045, sebuah gagasan yang banyak kita dengar di seminar-seminar dan ruang diskusi.
Orang bilang Indonesia memasuki babak baru, banyak optimisme bermekaran.
Melihat kenyataan tumbuhnya titik-titik ekonomi baru berkat ekonomi digital dan
ekonomi kreatif, maka sah-sah saja jika kita optimis.
Namun
benarkah kita sudah selangkah lagi menuju Indonesia Emas ?
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia sebesar
5,07 persen pada 2018 lalu menjadi kabar gembira yang terus-menerus digaungkan
pemerintah. Kegembiraan akan pertumbuhan ekonomi patut dipertanyakan melihat
fakta pemerataan ekonomi belum dicapai. Ketimpangan masih menganga, dengan
Indeks Gini di angka 0,397 dimana 27,77 juta penduduk masih merasakan
kemiskinan. Pertanyaannya dimana letak ekonomi kerakyatan, Jika di tengah
hingar-bingar pertumbuhan ekonomi, kemiskinan masih gencar.
Koperasi
: Sebuah Jawaban
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya
bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan
berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di
sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk
menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan
menggalang kekuatan mereka sendiri.
Doktrinnya adalah masalah kemiskinan
hanya dapat diatasi oleh si miskin sendiri, dengan bergandeng tangan satu sama lain.
Doktrin serta pendekatan itu bekerja efektif di sana lalu menyebar ke seluruh
dunia dan sampailah di Indonesia pada abad 20-an. Lembaga koperasi sejak awal
diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada
kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah.
Tidak berlebihan jika dikatakan koperasi
sebagai strategi yang tepat dalam mengatasi ketimpangan ekonomi. Lagipula,
sejarah mengingatkan bahwa ketangguhan koperasi telah teruji menyelamatkan kita
saat krismon 98.
Koperasi dapat digerakkan dalam menaungi
sektor pertanian masyarakat. Sebagai contoh, Industri buah kalengan di Thailand
tidak dilakukan oleh perusahaan besar, melainkan oleh koperasi-koperasi para
petani buah. Merekalah yang menjadi pelaku agribisnis buah-buahan dan menangani
pascapanen, pengolahan dan mengekspomya. Demikian pula halnya dengan Malaysia,
Vietram, RRC, Taiwan, Kanada, Australia dan Negara- Negara Skandinavia. Koperasi-koperasi
petani tersebut telah membuat komoditas pertanian mereka bisa menjadi andalan ekspor
nasional.
Pembentukan koperasi di negeri-negeri
tersebut, memang difasilitasi oleh pemerintah. Namun yang menentukan dibentuknya
koperasi tersebut bukan pemerintah melainkan para petani itu sendiri. Sudah
saatnya gerakan tersebut ditularkan pada petani-petani di daerah untuk
“menolong dirinya sendiri” melalui koperasi.
Di tengah keberlimpahan akan ekonomi
digital dan ekonomi kreatif, koperasi harus mampu dihadirkan kembali, untuk
menghadirkan pemerataan ekonomi. Kita harus mengingat jati diri koperasi
sebagai "sokoguru" perekonomian nasional, artinya kegiatan ekonomi
rakyat di bawah mendukung perekonomian besar di atasnya (dalam hubungan vertikal).
Sebagai contoh koperasi cengkeh dan koperasi
tembakau adalah sokoguru industri rokok kretek. Koperasi kopra adalah sokoguru
industri minyak goreng, dan seterusnya. Di sinilah awal dari koperasi sebagai
wadah ekonomi rakyat (mikro) dan keterkaitan vertikal serta horizontal dalam
konsepsi "Triple-Co"
(makro) akan menjadi rintisan bagi koperasi dan sistem koperasi sebagai pilar
orde ekonomi Indonesia.
Koperasi
Ramah Anak Muda
Survei Litbang Kompas (2015) perlu kita
simak ulang. Ada 74,3 persen responden mengatakan koperasi mampu sejahterakan anggota.
Namun ironisnya, 83 persen responden bukanlah anggota koperasi.
Survei itu dilakukan di 12 kota besar di
Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan,
Palembang, Bali, Banjarmasin, Makassar, Pontianak dan Manado. Perlu kita ingat,
di kota itulah banyak anak-anak muda melahirkan karya kreatif.
Banyak Koperasiawan di tanah air resah dengan
bagaimana nasib koperasi saat ini dan mendatang. Ya, ditinggal anak muda.
Pembaruan koperasi di Indonesia harus
mampu menciptakan desain yang ramah anak muda. Koperasi tidak akan berhasil
jika hanya dijalankan dengan cara-cara era 80-an.
Rebranding Koperasi menjadi satu-satunya
pilihan untuk menggaet hati millenial. Tidak hanya dilihat dari sudut pandang
perubahan nama, logo, atau simbol. Namun lebih mendalam, rebranding juga perlu menyentuh segi
manajerial hingga strategi marketing.
Peningkatan pelayanan, diversifikasi
produk, hingga peningkatan teknologi diharapkan menjadi suatu bauran terobosan
rebranding koperasi yang ramah anak muda. Tentunya, tanpa menghilangkan
karakteristik aslinya untuk menciptakan keadian dan pemerataan kesejahteraan.
Penggunaan teknologi dengan biaya murah
merupakan langkah efisien investasi namun ekspansif. Misalnya, dengan memaksimalkan
platform online, atau berkolaborasi dengan marketplace yang telah memiliki
basis viewer dan follower anak muda.
Jika koperasi mampu meraih hati anak
muda yang notabene merupakan segmen pasar yang luas dan produktif, maka
koperasi akan mampu bersanding dengan berbagai pelaku usaha pada era ekonomi
digital dan ekonomi kreatif saat ini. Harapannya tidak lain dan tidak bukan
adalah terwujudnya pertumbuhan ekonomi disertai pemerataan kesejahteraan
masyarakat. Demi Indonesia Emas 2045.
Mari kita aminkan bersama.
Referensi
Edi
Swasono, Edi. 2005. KOPERASI Nilai-Tambah Ekonomi Nilai-Tambah Sosial-Kultural Sokoguru
Perekonomian. Jakarta : Yayasan Hatta
Firdaus
Putra, HC. 2018. Anak Muda, Koperasi dan The Abundance Era diakses melalui https://www.ukmindonesia.id/baca-artikel/113
Lumbantobing,
Juliana., dkk. 2002. Ekonomi Koperasi.
Medan : Universitas Nommensen
Soetrisno,
Noer (2001), “Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut Kekuatan Ekonomi
Rakyat”, Instrans, Jakarta Stiglitz, Joseph (2006), Making Globalization Work,
New York: W.W. Norton & Company.
.
https://setkab.go.id/rebranding-koperasi-era-millenial-pelayanan-produk-hingga-teknologi/
No comments