![]() |
Potret Petani Urban Hidroponik di Kota Jember (Dokumentasi Penulis) |
***
Tangis Ibu Tati pecah
usai menyaksikan tayangan pendek berdurasi 5 menit yang menggambarkan kerusakan
bumi akibat ulah manusia. Aku bersaksi air mata beliau adalah ekspresi
kekecewaan yang amat dalam. Mungkin pembaca bertanya-tanya, siapakah sosok Ibu
Tati. Beliau adalah perempuan inspiratif asal Sumatera Barat yang sudah
bertahun-tahun berjibaku dalam program pengelolaan hutan untuk kesejahteraan
perempuan. Masih dalam linangan air mata, Ibu Tati kemudian bercerita
pengalamannya bersama ibu-ibu lainnya di kampung halaman mengembangkan berbagai
produk olahan hutan demi menopang hidup.
![]() |
Ibu Tati dalam Sebuah Acara Bertajuk "Pangan dari Hutan" (Dokumentasi Penulis) |
Ternyata pengorbanan mengejar kereta dari Bogor ke Jakarta guna mengikuti acara bertajuk “Pangan dari Hutan” tersebut tidak sia-sia. Selain bertemu dengan Ibu Tati, Aku dapat berdiskusi dengan perempuan tangguh lainnya yang dapat dikatakan sebagai pejuang lingkungan. Aku tersadar betapa berharganya keberadaan hutan bagi masyarakat lokal. Hutan menjalankan multi peran, sebagai tempat tinggal, sumber pangan, dan sumber penghidupan. Begitu pula sebaliknya, keberadaan masyarakat sekitar juga penting bagi keberlangsungan hutan. Ternyata hubungan antara manusia dan alam sedemikian erat dan saling ketergantungan.
“Ibu-ibu di sana
sebagai bunda kandung menjaga hutan
bersama yang lain.
Kalaupun ada yang membakar hutan kami, akan kami kejar kemana pun.”
Kata-kata Ibu Tati di atas menamparku dalam diam, Aku yang kini tengah menempuh studi master pada salah satu universitas kenamaan di Bogor dibuat malu tak berkesudahan. Harus kuakui, meskipun mengenyam pendidikan tinggi ternyata tak sebanding dengan kontribusiku untuk negeri utamanya bagi lingkungan. Padahal bukankah seharusnya semakin berilmu semakin besar pula kepeduliannya terhadap alam dan kehidupan.
Petani Urban, Solusi Ketahanan Pangan yang Menjanjikan
“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa,
apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”oleh karena itu
perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner”
Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI
Mengikuti serangkaian acara “Pangan dari Hutan” yang dihelat di Jakarta tersebut, membuatku penasaran dengan isu pangan nasional. Berbekal laptop dan secangkir teh hangat, Aku memanen sederet informasi berharga yang berbicara jika sektor pangan nasional sedang tidak baik-baik saja. Pertumbuhan penduduk yang kian fantastis dengan laju 1,1 persen per tahun, menyusutnya lahan pertanian di perdesaan akibat alih fungsi lahan, hingga perubahan iklim yang mengancam kemampuan produksi pertanian adalah seabrek pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Badan
Pusat Statistik mencatat adanya tren peningkatan impor pangan, sebesar 3,34
miliar dollar AS pada 2003 menjadi 14,90 miliar dollar AS pada 2013, atau
tumbuh empat kali lipat dalam satu dekade. Meningkatnya ketergantungan
Indonesia terhadap pangan impor tersebut merupakan urgensi untuk menggenjot
produksi pangan dalam negeri dengan cara-cara yang inovatif. Kita tidak boleh
lupa bahwa pemenuhan kebutuhan pangan bagi warga negara diatur oleh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, yang menyatakan bahwa pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhannya merupakan hak
asasi rakyat Indonesia.
Andai saja Aku seorang Menteri Pertanian, atau Presiden seperti Bapak Jokowi, sudah pasti banyak program dan kebijakan yang bisa Aku lahirkan. Eits... Tunggu dulu, memangnya harus jadi Menteri atau Presiden agar bisa berkontribusi ? Lalu Aku teringat kembali sosok Ibu Tati asal Sumatera Barat, beliau bukanlah siapa-siapa, seorang Ibu rumah tangga biasa yang tinggal di dekat hutan. Namun, bisa memberikan kontribusi nyata bagi hutan dan kesejahteraan perempuan di kampungnya.
Sebagai anak muda, Aku bisa berkontribusi seperti Ibu Tati dengan menjadi Petani Urban...
Petani Urban tak
sekadar profesi namun ruang kontribusi yang dapat diisi anak muda dalam mengurai
permasalahan pangan. Pemikiran lama bahwa pertanian hanya dapat dilakukan di
desa dan petani bukanlah pekerjaan bergengsi kini tak lagi relevan. Sebaliknya,
di tengah tantangan zaman Petani Urban adalah pekerjaan menjanjikan di masa
depan. Dengan menjadi Petani Urban, anak muda mampu menghadirkan lahan produksi
di perkotaan lewat konsep Urban Farming.
Pertanian kota atau Urban Farming merupakan konsep berkebun
di lahan terbatas utamanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan
dan sebagainya. Halaman rumah, atap, tembok dan hampir semua jenis ruang
perkotaan dapat diubah menjadi zona pertanian mini yang syarat akan manfaat.
Urban Farming bukanlag gagasan baru, beberapa kota besar di dunia bahkan sudah
berhasil menerapkannya misalnya HK Farm,
jaringan taman atap di sekitar Yau Ma Tei, Hongkong dan juga Broklyn
Grange di New York, perkebunan atap terbesar di dunia yang berhasil memproduksi
lebih dari 22 ton produk organik setiap tahunnya.
Memangnya
Petani Urban Bisa Berkontribusi Apa untuk Indonesia ?
Jangan salah, sebagai salah satu pekerjaan bergengsi di masa depan, Petani Urban dapat memberikan seabrek manfaat untuk Indonesia. Penasaran ? Berikut jawabannya.
![]() |
Kotribusi Petani Urban Bagi Indonesia yang Lebih Bersih (Dokumentasi Penulis) |
Berkontribusi
Tingkatkan Kualitas Udara
“Hutannya
hutan beton, sementara ladangnya ladang bisnis”
Kota-kota besar di
Indonesia lekat dengan julukan di atas. Sebagai sentra bisnis dan pusat ekonomi,
lumrah jika hutan dan ladang perkotaan menjelma menjadi hutan beton dan ladang
bisnis. Sayangnya pembangunan infrastuktur yang masif mengikis ruang terbuka
hijau di perkotaan kemudian berimplikasi terhadap kestabilan ekosistem
lingkungan. Salah satu yang paling kentara yaitu tingginya polusi udara. Sebelum
pandemi,World Health Organisation menempatkan Jakarta sebagai 22 kota paling
berpolusi (udara) di dunia dengan Air Quality Index sebesar 152, angka tesebut
dua kali lipat lebih tinggi dari standar batas udara bersih internasional.
Peran anak muda sebagai
Petani Urban dapat secara langsung memperbaiki kualitas udara di Kota. Berbagai
sistem penanaman urban farming seperti vertikultur, hidroponik, dan akuaponik
membuka peluang akan ruang terbuka hijau baru. Tersedianya ruang terbuka hijau secara
perlahan akan mengurangi pencemaran udara dan menjadikan lingkungan sekitar sehat
untuk ditinggali.
Berkontribusi
Menjaga Ketahanan Pangan
Langkanya lahan
pertanian di perkotaan menjadi penyebab kota tak lagi mampu memenuhi kebutuhan
pangannya secara mandiri. Sementara permintaan pangan di perkotaan terus
meningkat akibat laju arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk. Jika terus
dibiarkan, tingginya permintaan pangan akan berimplikasi terhadap inflasi. Di
tengah permasalahan tersebut, Petani Urban menjadi harapan sumber pemenuhan
pangan di tingkat rumah tangga perkotaan sehingga mendukung ketahanan pangan
nasional.
Data Association for
Vertical Farming (AVF) mencatat, melalui urban farming Kota New York dapat
menghasilkan sekitar 200-220 ton daun basil setiap bulannya. Senada dengan itu,
Arizona State University menemukan produksi urban farming dapat menghasilkan
180 juta ton bahan makanan setara dengan 10 persen kebutuhan pangan global
selama satu tahun. Luar biasa bukan kekuatan Urban Farming ?
Berkontribusi
Menghemat Penggunaan Energi
Tanpa Kita sadari, setiap
hidangan makanan yang Kita santap telah melalui perjalanan panjang. Untuk
sampai ke meja makan, sayur-mayur, ikan, buah dan sebagainya menempuh jarak
berkilo-kilometer dari desa untuk didistribusikan ke kota. Perjalanan panjang
ini jelas membutuhkan bahan bakar dalam jumlah besar.
Matei Georgescu,
profesor asal Arizona State University, mengungkap bahwa urban farming
berpotensi menghemat 15 miliar kilowatt per jam untuk pemakaian energi dunia
selama setahun dan menghasilkan 170.000 ton nitrogen ke udara, sama artinya
dengan mencegah pencemaran sungai dan saluran air bersih. Keberadaan Petani
Urban akan memangkas jalur distribusi bahan pangan sehingga menghemat energi
dan mengurangi pencemaran lingkungan. Fakta tersebut lagi-lagi membuktikan
bahwa petani urban adalah profesi yang kontributif.
Berkontribusi
Manfaatkan Kembali Limbah Plastik dan Bahan Sisa Dapur
Limbah plastik adalah
masalah klise yang hingga kini mendera negara manapun. Banyak cara sudah
dilakukan, namun penggunaan plastik yang murah dan melimpah menjadikannya idola
bagi masyarakat. Inilah mengapa menekan penggunaan bahan-bahan berbahan plastik
terasa sangat sulit. Keberadaan Petani Urban membuka peluang dalam memanfaatkan
botol-botol bekas menjadi pot tanaman. Selain itu, daripada mengeluarkan biaya
untuk pupuk, Petani Urban dapat mengolah bahan sisa dapur sebagai pupuk alami. Misalnya
cangkang telur yang kaya akan kalsium, juga bubuk kopi serta kulit pisang yang baik
untuk perkembangan mikroorganisme tanah.
Petani
Urban Profesi Menjanjikan, Mantu Idaman di Masa Depan
Lahan Selada Hidroponik di Perkotaan (Dokumentasi Penulis)
Sayangnya, pekerjaan sebagai
petani kerap dianggap remeh karena penghasilannya yang diduga pas-pasan. Padahal
zaman sudah berubah, profesi sebagai petani urban justru berpeluang besar
meraih cuan. Aku sempat berkunjung ke usaha hidroponik yang dijalankan kawan
kurang lebih selama dua tahun. Setelah berdiskusi panjang lebar, Aku kaget
mengetahui nominal rupiah yang berhasil dikumpulkan dari usaha bercocok tanam dengan
media air tersebut. Kawanku mengatakan jika kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan mengkonsumsi sayur dan buah telah meningkatkan
permintaan produk pertanian di pasar. Permintaan yang tinggi tersebut
berkorelasi positif dengan harga-harga pangan yang kian kompetitif terutama
bagi produk sayuran hidroponik yang tak kenal musim tanam.
Dengan seabrek
kontribusi ditambah peluang meraup cuan yang luar biasa di atas, rasanya tak
berlebihan jika Petani Urban dapat dikatakan sebagai pekerjaan mantu idaman di
masa depan. Siapasih yang tidak ingin dipinang Petani Urban dibalik
kebermanfataannya yang luar biasa ?
GreenJobs, Peluang Kerja Anak Muda Demi Indonesia yang Lebih Bersih
Seketika Aku mengenang momen saat orang tua
menanyakan cita-citaku saat anak-anak. Bisa dipastikan jawabannya selalu sama,
ingin menjadi dokter. Bukan semata-mata soal uang, menjadi seorang dokter
adalah satu-satunya gambaran profesi mulia bagi anak-anak kala itu karena dapat
menolong orang sakit. Berkat perkembangan teknologi, kini lebih banyak pilihan profesi
mulia yang dapat dicita-citakan anak muda atau bahasa kerennya dikenal dengan Green Jobs.
Dilansir dari
Coaction.id, International Labour
Organization (ILO) mendefiniskan green jobs menjadi lambang dari
perekonomian dan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan mampu melestarikan
lingkungan untuk generasi sekarang maupun untuk generasi yang akan datang. Secara
sederhana, Green Jobs adalah jenis pekerjaan yang berkontribusi
terhadap pelestarian lingkungan. Selain Petani Urban, ada banyak sekali
bidang-bidang pekerjaan yang berkontribusi mengatasi perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan misalnya, Ecopreneur,
Tekhnisi tenaga surya, Konstruksi hijau, Pengolah limbah dan daur ulang dan
masih banyak lagi.
Kapan lagi bisa
menumbuhkan perekonomian sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupan ?
Yuk anak muda, Kita ambil bagian dengan terjun ke Green Jobs J
Salam #KolaborAksi, #EnergiMuda!
No comments