Awal tahun 2020 begitu
manis bagi semua orang, tak terkecuali bagiku. Baru saja berstatus mahasiswa
pascasarjana, merantau ke Kota Hujan, dan menjajaki peran baru sebagai jurnalis
pada salah satu media mainstream membuat 2020-ku begitu sempurna.
Hingga akhirnya, pada
maret 2020, Pemerintah Republik Indonesia resmi mengkonfirmasi dua kasus
pertama Covid-19. Aku kala itu masih denial,
dengan optimis Aku menepis kekhawatiran-kekhawatiran imajiner yang ada dalam
kepala.
“Ah... paling juga tiga
bulan mendatang virus ini juga sirna, Masyarakat Indonesia kan kebal!”
Hari demi hari berlalu,
bukannya mereda, virus kian masif. Puncaknya saat World Health Organisation
(WHO) resmi meningkatkan status Covid-19 menjadi pandemi. Ya, virus ini tak
lagi hanya singgah di satu atau dua negara tapi sudah mendunia hanya dalam
hitungan bulan.
Pandemi dan Hubungannya dengan Deforestasi
![]() |
Online Gathering Bersama Eco Blogger Squad |
Sebelum
pandemi, jujur Aku tidak memiliki ketertarikan terhadap isu-isu lingkungan dan
juga hutan. Aku cukup cuek menyaksikan tayangan kerusakan lingkungan karena
lingkungan di sekitarku baik-baik saja. Namun, setelah menjelajahi literatur
dan juga sederet diskusi ilmiah yang mengatakan bahwa diduga ada hubungan erat
antara pandemi dan juga kerusakan lingkungan, kepedulianku akan hutan tumbuh
perlahan.
Bagaimana
Transmisi Covid-19 ke Manusia ?
Pandemi
Novel Coronavirus Disease (Covid-19), dipercaya ilmuwan dipicu oleh transmisi
virus dari hewan ke manusia. Hal ini dalam istilah ilmiah dikenal dengan Penyakit
Zoonosis. Tak hanya Covid-19, rekam jejak pandemi lainnya di muka bumi
menunjukkan kecenderungan serupa, dimana diawali transmisi virus dari hewan ke
manusia.
Penyebab
Measles, Smallpox, TB, Gastric Cancer, dan banyak penyakit pandemi lainnya merupakan
contoh kasus penyakit zoonosis yang asalnya dari hewan dan kemudian menular ke
manusia.
Dr. Alvi Muldani, selalu Direktur Klinik Alam Sehat Lestari (Yayasan ASRI), menjelaskan beberapa faktor pemicu pandemi. Menurut beliau, pandemi disebabkan oleh organisme spesifik dan telah berada bersamaan dengan manusia dalam beberapa ribu tahun. Kontak manusia dengan hewan liar kemudian memicu adanya transmisi, misalnya dikarenakan oleh domestifikasi, terganggunya habitat liar akibat kerusakan hutan, dan perdagangan hewan langka. Lebih jauh, Dr. Alvi menambahkan pandemi dapat dipercepat dengan perjalanan udara, urbanisasi dan perubahan iklim.
Mencegah Pandemi dengan Menjaga Hutan
Setelah
mendengar pernyataan di atas, kebanyakan dari Kita pasti bertanya-tanya.
Bagaimana ceritanya menjaga hutan dapat membantu mencegah pandemi. Kok bisa ? Sederet
literatur ilmiah menunjukkan kerusakan hutan atau berbanding lurus dengan penyebaran
virus.
Menurut
Taylor (1997), penebangan pohon secara nyata merubah lingkungan dan merusak
ekosistem. Hal ini kemudian memengaruhi kemunculan penyakit dan transmisinya ke
umat manusia. Morand et al (2019) mengungkapkan hal senada, bahwa konversi
lahan meningkatkan penyebaran virus karena rodensia. Terakhir, fenomena
kerusakan hutan yang tinggi di Amerika Selatan diduga kuat mengakibatkan
kemunculan virus EID’s Microsporidia, Bartonella, dan Leptospira (Cartez et al,
2018).
Urgensi Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia
Sebagai
awam, sebelumnya Aku bahkan tidak mengetahui kondisi hutan dan bencana
kehutanan sudah sedemikian gawatnya. Dedy Sukmara, Direktur Informasi dan Data
Auriga Nusantara, menuturkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia
dua tahun belakangan adalah salah satu yang paling mengkhawatrikan selama dua
dekade ini. Data menunjukkan hutan dan lahan seluas 1,6 juta hektar hangus
dilalap api, hal ini menjadi bencana kehutanan terparah sejak bencana asap
tahun 2015 lalu.
Pemerintah
RI rutin menjadi sorotan akibat kebakaran yang tak berkesudahan. Asap akibat
kebakaran hutan kerap memanaskan hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Kebakaran
hutan dan lahan (Karhutla) pula yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu
penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Wow!
“Kebakaran
tahun 2019 melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca (CO2) hampir
dua kali lipat lebih besar dibanding kebakaran di sebagian Amazon, Brazil (CMAS,2019)”
![]() |
Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua (Sumber : Auriga Nusantara) |
Aku
lebih sedih lagi saat mengetahui fakta bahwa tren deforestasi bergeser dari
hutan di wilayah barat ke timur Indonesia atau dengan kata lain Deforestasi
mulai menyasar provinsi kaya hutan. Sepanjang periode 2015-2019, separuh lebih
dari deforestasi di sepuluh provinsi kaya htan ini disumbang oleh Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Sulawesi Tengah. Namun,
jika dibandingkan dengan periode 2010-2014, lonjakan laju deforestasi lima
tahun trakhir terjadi di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Tengah,
dan Papua.
Ulah Manusia, Faktor Utama Penyebab
Deforestasi
Kemarau
panjang (El Nino) selalu dituding sebagai pemicu kebaran. Namun, faktanya
kebakaran terus terjadi bahkan di tahun-tahun tanpa kemarau panjang. Itu sebabnya,
faktor lain (ulah manusia) lebih tepat dianggap sebagai penyebanya.
Manusia
berkontribusi nyata dalam deforestasi melalui praktek pembukaan lahan dengan
api, perburuan, penggembalaan, konflik lahan dan aktivtas lainnya yang
berkaitan.
Dampak
deforestasi tidak main-main. Mulai dari terancamnya biodiversitas akibat
hilangnya habitat dan penurunan populasi tumbuhan dan satwa liar. Terganggunya kesehatan,
pendidikan, dan transportasi, hingga pemasanan global dan perubahan iklim. Jika
Kita melakukan valuasi ekonomi terhadap dampak deforestasi, tidak terbayangkan
betapa besar nilainya. Kerugian Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan
sepanjang 2019 misalnya, diperkirakan mencapai US$ 2 Miliar atau setara 72,95
Triliun Rupiah.
Bagaimana masih menyepelekan
deforestasi ?
New Normal Versi Penyelamat
Lingkungan dan Hutan
New
Normal pasca pandemi secara umum diartikan dengan disiplin memakai masker
selama berkegiatan di ruang publik, rajin mencuci tangan dan mengaplikasikan
hand sanitizer hingga social distancing. Kemudian Aku belajar banyak, setelah
mengetahui bahwa ada hubungan yang kuat antara pandemi yang kini Kita hadapi
dengan kerusakan hutan. Maka sudah saatnya, New Normal memiliki arti yang lebih
luas lagi.
New
Normal tak sekadar disiplin menerapkan protokol kesehatan. Lebih dari itu, New
Normal artinya melibatkan lingkungan dan hutan sebagai pertimbangan utama dalam
berkehidupan. Bantu mengawasi hutan dari kejauhan dengan rutin update
perkembangan hutan dan deforestasi. Aktif menyuarakan isu-isu lingkungan dan
hutan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, misalnya melalui karya tulisan,
foto, infografis bahkan video kreatif. Pun juga berhenti mempromosikan dan
membeli produk-produk yang berkontribusi terhadap deforestasi, cek labelnya dan
cermat dalam memilih. Terakhir, berdonasi kepada gerakan dan wadah-wadah yang
pro terhadap perlindungan hutan Indonesia.
Siapapun
Kita, mau Ibu rumah tangga yang setiap hari megurus keluarga, seorang Mahasiswa
yang belum berpenghasilan, Penulis amatir yang minim pengalaman, seorang guru
di tingkat sekolah dasar, Karyawan dan “budak korporat” dengan segudang
deadline. Sekecil apapun perannya, Kita masing-masing dapat berkontribusi
menekan deforestasi dari berbagai lini.
No comments