![]() |
Potret Keberagaman Indonesia (Dokpri) |
“Lebih baik di sini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa
Semuanya ada di sini
Rumah kita ”
Serangkaian kata indah di atas merupakan penggalan lirik lagu “Rumah Kita” yang hits pada era 80-an. Lagu yang dipopulerkan oleh Godbless tersebut dinyanyikan musisi tanah air secara serentak dalam sebuah video yang dirilis Najwa Shihab sebagai bagian dari rangkaian konser musik #dirumahaja pada Maret tahun lalu. Saya rasa Mbak Nana dan teman-teman musisi berhasil menghadirkan kekuatan sekaligus hiburan bagi masyarakat yang tengah berjuang melawan virus melalui konser musik virtual tersebut.
Sebagai pencinta musik yang awam, Saya terbius dengan lirik indah dari lagu di atas “lebih baik disini, rumah kita sendiri”. Putera dan puteri Indonesia dimanapun berada akan sepakat bahwa tanah air adalah tempat terbaik untuk tumbuh dan berkarya. Selain itu, beberapa kali berdiskusi dengan rekan sejawat yang kebetulan sedang atau pernah tinggal di negera lain, di luar dugaaan ternyata bagi mereka Indonesia tetap nomer satu.
Mengapa Rumah Kita, Indonesia terasa lebih baik ?
Saya kemudian mengajukan pertanyaan sederhana di atas kepada mereka. Jawabannya beragam, tapi rata-rata mengungkapkan alasan karena Indonesia adalah potret rumah yang ramah akan keberagaman. Saya setuju, kekuatan “Rumah Kita” memang terdapat pada kemampuannya melahirkan dan merawat keberagaman bahkan jauh sebelum Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan.
Gemah
Ripah Loh Jinawi adalah ungkapan yang sangat tepat
menggambarkan kekayaan Indonesia, dimana tak hanya kekayaan alam namun juga
kekayaan keberagaman. Indonesia merupakan negara kepulauan yang penuh dengan
keragaman budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama, maupun bahasa daerah. Merujuk
pada sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS tahun 2010, diketahui Indonesia memiliki
sekitar 1340 suku bangsa. Tak hanya itu, Indonesia juga rumah bagi plurarisme
dalam beragama bahkan kebebasan memeluk agama atau keyakinan masing-masing
orang dijamin oleh konstitusi.
Intoleransi
dan Kekerasan : Luka Bagi Keberagaman Rumah Kita
Berbicara keberagaman tak hanya perihal suka namun juga duka yang penuh luka. Deretan kejadian panjang pernah menodai keberagaman Indonesia. Di era reformasi media pernah memberitakan soal kekerasan antar agama, misalnya kelompok Muslim yang radikal terhadap kelompok agama minoritas seperti para Ahmadiyya dan Kristen. Hal tersebut telah mendapatkan perhatian internasional dan sejumlah pemerintah, organisasi serta media menyatakan keprihatinan atas penjaminan kebebasan agama di Indonesia.
Tak hanya itu, Convey Indonesia, lembaga yang bergerak mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor yang mendasari pertumbuhan ekstrimisme kekerasan dalam pendidikan agama, mencatat setidaknya terjadi 17 insiden teroris di Indonesia sejak tahun 2002 hingga 2018. Dalam rentang waktu itu, dikonfirmasi lebih dari 100 orang tewas dan lebih dari seribu orang luka-luka akibat aksi teror di dalam negeri yang dilakukan oleh para pelaku. Data Yayasan Denny JA juga mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65% berlatar belakang agama, sekitar 20% kekerasan etnis, dan sisanya berlatar belakang gender.
Data di atas adalah realita pahit. Bagaimanapun Kita tidak boleh melupakan sepak terjang intoleransi dan kekerasan yang pernah mencekik tanah air. Misalnya, kejadian teror bom oleh tiga teroris di dekat sebuah kafe Amerika di Jakarta Pusat pada awal 2016 yang merenggut nyawa tiga orang, pun juga penangkapan dua wanita karena merencanakan dua serangan terpisah di istana presiden pada tahun yang sama. Lagi-lagi, tak hanya berlatar belakang agama, berbagai konflik yang pernah terjadi membuktikan jika motif suku dan ras juga menjadi penyebab diantaranya konflik ambon yang berlangsung pada tahun 1999-2003 yang menghabisi 10 ribu nyawa korban.
Memangnya seberapa gawat Intoleransi dan Kekerasan di Indonesia ?
Saya bukanlah pengamat ahli yang punya kemampuan mengukur seberapa tingkat keparahan intoleransi dan kekerasan di Indonesia. Namun, meminjam data Convey Indonesia yang menyasar generasi muda sudah sepatutnya Kita khawatir. Berdasarkan hasil survei Pusat Pengkajian Islamdan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 menyatakan kalangan pelajar dan mahasiswa memiliki persepsi radikal sebesar 58%, persepsi intoleransi internal sebesar 51,1%, dan persepsi intoleransi eksternal sebesar 34,4%. Lebih jauh, Survei Keberagamaan yang dilaksanakan PPIM pada tahun yang sama menemukan bahwa, 37,71% responden memaknai Jihad sebagai perang. Bahkan, sepertiga responden berpendapat jika orang murtad itu harus dibunuh dan 33,34% responden merasa bahwa tindakan intoleran kepada Mereka yang berbeda keyakinan tidak masalah.
Kontribusi Anak Muda Tangkis Intoleransi, Diskriminasi dan Kekeresan
Dari data dapat diketahui anak muda yang notabene merupakan harapan bangsa ternyata cukup banyak mengidap intoleransi terhadap agama atau suku dari kalangan yang berbeda. Padahal perbedaan adalah indikasi keberagaman, jika anak muda saja mulai enggan menerima keberagaman lalu bagaimana dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang kerap dikumandangkan ?
Melawan Intoleransi dan Kekerasan dari Anak Muda, Oleh Anak Muda, Untuk Indonesia...
Dalam konteks kebangsaan, anak muda merupakan generasi penerus bangsa. Presiden Soekarno pernah mengatakan jika dengan 10 pemuda mampu menggoyang dunia. Anak muda dapat dikatakan enerjik, energi positif tersebut dapat ditransformasi menjadi semangat menjaga keberagaman Rumah Kita dan #MeyakiniMenghargai.
Memangnya apa yang dapat dilakukan anak muda ?
1.
Gigih
Berliterasi Tanpa Tapi
Memang benar anak muda harus berani menyuarakan kebenaran. Namun, perlu dipastikan mengantongi data dan informasi yang cukup sehingga apa yang diutarakan adalah sebuah fakta valid, tidak mengada-ngada apalagi hoaks seperti mantra Najwa Shihab “be brave but don’t be stupid”. Caranya hanya satu, yaitu gigih berliterasi tanpa tapi. Jangan mimpi memerangi intoleransi, kekerasan dan diskriminasi tanpa bekal ilmu yang memadai.
“Menurut UNESCO (2005), Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan yang diperoleh dari proses belajar baik menulis maupun membaca sehingga mampu menggunakan, mempraktikkan, dan menjadikan hasil dari proses belajar tersebut sebagai budaya.”
Kita beruntung hidup di era teknologi dimana sumber pengetahuan dapat diakses secara bebas tanpa batas. Banyak sekali sumber bacaan yang dapat dijadikan referensi mengenai isu-isu keberagaman, kekerasan, dan intoleransi. Entah berkunjung ke perpustakaan kampus, atau berjejaring di dunia maya dengan situs resmi yang terbukti kredibilitasnya. Convey Indonesia juga menyediakan berbagai literatur terkait, publikasi, berita, modul hingga e-book secara melimpah yang menjadi sumber pengetahuan bagi anak muda untuk berliterasi.
2.
Aktif
Perangi Intoleransi dan Kekerasan di Ranah Digital
“Penduduk Indonesia menempati urutan ke-4 pengguna Facebook teraktif di dunia juga sekaligus negara terbesar ketiga pengguna instagram. Tak hanya itu, sepanjang tahun 2016 pengguna Twitter di Indonesia telah mengirim 4,1 miliar tweet menjadikan Indonesia sebagai negara paling cerewet di Twitter”
Yang
muda yang bersuara, ungkapan tersebut tepat menggambarkan anak
muda yang punya energi lebih. Sudah jadi rahasia umum jika dunia maya menjadi
ruang tumbuh dan berkembangnya hoaks/berita bohong. Hoaks kerap menyebarkan
provokasi kepada masyarakat yang cenderung mengarah kepada tindakan dan
pemikiran intoleran dan radikal. Sayangnya tak sedikit yang kemudian terhasut hingga
mencelakai keberagaman. Nah sudah saatnya, anak muda yang ramah dengan ranah
digital berkontribusi dengan aktif memerangi konten-konten yang mengarah ke intoleransi
dan kekerasan yaitu dengan melakukan pelaporan situs atau akun-akun provokatif.
3.
Sebarkan
#MeyakiniMenghargai Melalui Karya Digital
Sosial media kini menjelma menjadi media penyebaran informasi nomor satu dengan kecepatan tinggi. Segala hal yang dilempar ke dunia maya bisa mendadak “viral” dalam sekejap, mulai dari selebgram yang tiba-tiba populer hingga tren busana dan makanan yang seketika meledak. Sebagai anak muda yang melek dan ramah dengan teknologi digital rasanya sayang sekali jika melewatkan kesempatan emas ini. Daripada tinggal diam menyaksikan dunia maya dipenuhi oleh konten negatif yang syarat akan ujaran kebencian, memicu perpecahan atau mempertajam radikalisme, alangkah lebih baik Kita sebagai anak muda turut aktif menyerbarkan pesan #MeyakiniMenghargai melalui karya konten digital.
Bagi yang memiliki kegemaran berfoto di depan kamera boleh menyisipkan pesan semangat menerima keberagaman melalui foto diri di sosial media, bagi yang gemar menulis boleh berkarya positif dalam berbagai platform blogging, dan begitu pula yang senang menari dan berkreasi melalui video. Dengan begitu diharapkan pesan akan mencintai keberagaman, merawat toleransi, memerangi kekerasan dan diskriminasi terkemas secara menarik dan lebih mudah sampai ke hati.
4.
Bergabung
dalam Wadah Perdamaian dan Toleransi
Convey Indonesia banyak memberikan wadah
pembelajaran anak muda sebagai “Peace Ranger”. Misalnya melalui Peace Leader Indonesia yang bertujuan
untuk saling menguatkan dan mempromosikan toleransi dan perdamaian khususnya di
kalangan pemuda agar terbangun kohesi sosial.
Saya rasa kini wadah semacam itu dapat dengan mudah dicari dengan bantuan
teknologi informasi. Daripada sekadar rebahan
waktu yang dimiliki akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk mengikuti
Webinar yang mengusung tema cinta perdamaian.
5.
Diskusi
Lintas Suku dan Lintas Iman
Sosok Imam Ashafa dan Pastor James sempat mencuri perhatian dunia. Kepeloporan dua agamawan pegiat binadamai dari Nigeria yang sebelumnya bermusuhan sangat menginspirasi. Dari mereka Kita dapat belajar indahnya toleransi, kerjasama dan upaya-upaya binadamai lintas-iman. Seperti Pepatah lama “tak kenal maka tak sayang”, bisa jadi mengapa anak muda belum sepenuhnya mencintai keberagaman dan menerima perbedaan semata-mata karena hanya karena belum kenal. Untuk itu, gagasan yang diusung Convey Indonesia dalam meningkatkan pengalaman anak muda untuk berinteraksi dengan kelompok yang berbeda, misalnya membudayakan diskusi lintas iman dan lintas suku sehingga diharapkan dapat mengikis intoleransi dan radikalisme.
Mudah sekali bukan merawat keberagaman Rumah Kita ala Milenial, tertarik ikut serta ?
#EcoBloggerSquad
No comments