Momen Bersama Ibu |
Sebelumnya jujur Aku tak banyak meyakini tentang konsep relativitas, buatku lama sejam atau seminggu ya seharusnya sama untuk setiap orang, sampai akhirnya Tuhan menakdirkanku menghadapi dua hari terpanjang dalam hidup.
Aku bersumpah 14-15 November 2018 terasa bagai sewindu kala itu...
Bagaimana ceritanya ?
Saat itu Aku masih bekerja pada sebuah perusahaan swasta, dengan jam kerja nine to five, tapi biasanya Aku tak akan langsung pulang ke rumah. Gaji UMR lebih sedikit membuatku harus mengambil sampingan sebagai guru privat anak SD. Untungnya jarak antara kantor, lokasi mengajar, dan rumah mudah digapai, sehingga paling tidak meringankan beban sehari-hari.
Yap, selepas kerja, Aku biasanya numpang mandi dan makan malam di kantor, usai maghrib Aku langsung cuss menuju rumah Sabrina, muridku. Singkatnya, Aku sampai rumah sekitar pukul setengah sembilan.
Tahun 2018 ada begitu banyak struggles, Ibu setahun belakangan sakit dan hanya bisa terbaring. Tentunya, kami sekeluarga bergantian menjaga Ibu. Maka ketika Aku pulang, saatnya Bapak beristirahat, kemudian Ibu bersamaku.
Biasanya Aku akan mengganti pampers Ibu dan menyuapi jika beliau berkenan makan lagi.
Lalu, mengapa 14-15 November terasa begitu panjang ?
Demi tambahan biaya pengobatan Ibu, Aku sempatkan mengikuti sebuah kompetisi ilmiah bersama dua orang kawan. Usaha tidak mengkhianati hasil... Kami bertiga lolos presentasi ke Surabaya, setelah mendapatkan ijin dari HRD secara mendadak (H-1) Aku memesan tiket.
Ditemani pasangan, Aku melaju dengan kereta malam, kemudian kami sampai di surabaya sekitar jam lima pagi. Tanpa banyak babibu, Aku langsung meluncur ke hotel, disana timku telah terlebih dahulu sampai.
Long short story, kami menang, tanpa timku ketahui mungkin akulah yang paling berbahagia diantara mereka. Hadiah tersebut bisa sangat meringankan biaya pengobatan Ibu.
Momen Menerima Penghargaan Bersama Penyelenggara |
Malamnya, entah mengapa Aku tidak bisa tidur padahal jadwal kereta pukul 04.30 WIB, namun rencana awal sesampainya di Jember langsung menuju kantor untuk kembali bekerja.
Pukul dua dini hari, Adik bungsu mengirimkan pesan... membaca kata per kata duniaku berhenti berputar, dada sesak, dan bulir air mata mengucur deras.
Ibu Saat dirawat di Rumah Sakit |
Ibu kami telah berpulang...
Aku merasa hancur, belum sempat uang ini terpakai untuk pengobatan beliau, belum sempat aku memeluknya untuk terkahir kalinya, rasanya pengorbananku sia-sia, jika saja aku tau hari ini adalah hari terakhir beliau, sudah pasti aku akan terus disampingnya.
Dalam perjalanan menuju Jember, di kereta Aku terus menangis... saat itu aku tidak peduli sama sekali dengan tatapan orang-orang... mungkin mereka heran dan bertanya-tanya, seorang perempuan menangis tersedu-sedu sambil membawa sebuah board dengan bertuliskan hadiah sebesar Rp. 7.500.000, mungkin di pikiran mereka si perempuan ini seharusnya bahagia baru saja menggenggam uang jutaan rupiah.
Sehari setelah pemakaman, Bapak, kedua adik, dan diriku mengunjungi makam Ibu.
"Sekarang hanya tinggal berempat, apapun yang terjadi di depan Kita harus tetap kompak, saling menguatkan. Berpulangnya Ibu harus Kita terima sebagai bagian dari perjalanan hidup yang Allah kehendaki, terus berdoa untuk beliau setiap waktu." ucap Bapak sambil mengelus batu nisan.
Selebihnya kami hanya terus melantunkan doa, saat itu rasanya sedang berada di dimensi lainnya, hampa sekali, yang ada pikiran hanya Ibu, Ibu, dan Ibu.
Perjuangan Ibu bagi keluarga sangat terpatri di hati. Beliau adalah lulusan pondok pesantren, Ibu yang hanya mencicipi pendidikan formal selama dua tahun hingga kelas dua sekolah dasar tapi justru begitu peduli dengan pendidikan anak perempuannya.
Aku juga teringat momen bersama Ibu, ketika beliau dirawat di rumah sakit. Selama tiga Minggu, aku dan Ibu banyak menghabiskan waktu hanya berdua di salah satu ruang rumah sakit. Kami sering bercerita Saat itu aku baru menyadari kesibukan kampus begitu menyita waktu, ternyata banyak sekali cerita seru di rumah yang ternyata aku lewatkan...
Yang Aku lihat, ibu berusaha keras menyembunyikan kelemahannya.
Acap kali Aku suapi, ibu masih berusaha menggenggam sendok sendiri, meski nyatanya seringkali tak berhasil dan malah menumpahkan nasi kesana-kemari...
Tapi aku berusaha memberikan respon terbaikku, seperti kala ibu menghibur Julita kecil karena gagal meraih rangking pertama di kelas...
Begitu pula saat memandikan Ibu, awalnya beliau akan berusaha meraih gagang shower sendiri, meski kembali tak berhasil dan justru membuat kami berdua basah kuyup...
Bu, ketahuilah bahwa di titik terendahpun, ibu masih seorang ibu yang paling sigap di mata kami.
Ibu yang hebat, dan tiada dua.
*****
14-15 November 2018 adalah hari terpanjang dalam hidup, kala itu kemenangan dan kekalahan nyaris tak berjarak, Aku menggenggam tropi kemenangan namun sedetik kemudian dikalahkan keadaan, kehilangan genggaman Ibu selamanya.
Ikut bersedih membacanya Kak Julita. Ada kisah berurai air mata dalam perjuangan Kak Julita selama ini ternyata.
ReplyDeleteDari Pekalongan sini, terbait doa utk Ibu yang sudah berpulang dan untuk Kak Julita sekeluarga. Semoga diberi kelancaran rezeki dan bahagia yang berlimpah :)
Hampir empat tahun berlalu, masih terasa betul suka duka kala itu.
DeleteTapi namanya hidup, meminjam filosofi budhis, konon katanya hidup adalah penderitaan.
Memaknainya dengan berlapang dada menjalani, tentu yang terpenting lebih jeli melihat hal-hal sekitar yg bisa disyukuri.
Aku juga titip doa untuk Mbak Mutiara, semoga penanya tak pernah habis, terus menebar energi dari tulisan-tulisan bermaknamu mbak.
Mahal Sekali Harga yang Harus Dibayar Dari Sebuah Doa yang Dikabulkan
ReplyDeletetahun lalu aku masih seorang karyawan di salah satu perusahaan jasa di malang.
darah muda terus memaksa untuk segera mewujudkan keidealisan.
Berdikari di Rumah Sendiri
melanjutkan dan mengembangkan usaha toko kecil keluarga yang sudah berhasil menghidupi dan meluluskan dua orang anak menjadi sarjana
rencana kudiskusikan
"Tidak ada yang bisa dikembangkan dari toko jamu, silakan pulang dan mulai usaha lain yang baru", keputusan ayah di penghujung diskusi.
awal Juni aku pulang
mengurus kepindahan
dan merencanakan usaha kuliner yang akan dibantu oleh Ibu
berbagai kebutuhan sudah dipesan untuk direalisasikan
rencana hanyalah rencana
kala itu, pertengahan juli 2021
puncak-puncaknya corona delta di daerah kita
Swab antigen ibu positif dan harus opname di RS
menyusul aku dan ayah yang sama sama positifnya dan harus isolasi mandiri di rumah
Tidak lama
hanya seminggu
Ibu pulang
untuk selamanya
dan sekarang aku dan ayah melanjutkan hidup
bersama usaha toko jamu yang pernah aku rencanakan untuk kulanjutkan
mahal sekali harga yang harus dibayar, atas sebuah hal yang pernah diminta dan akhirnya dikabulkan.
Sedih ya ? karena nyatanya Kita sudah berada di fase masa senja orang tua.
DeleteTak hanya diri ini, tapi juga sudah banyak teman yang kehilangan sosok orang tua.
Semoga Tuhan senantiasa menitipkan kelapangan hati dan membiarkan Kita terus melanjutkan langkah (meski tertatih).
Doaku dari Jember untukmu Dek Dei !
aamiin mbak jul
Deletesebenernya kalau ditelaah lebih dalampun
yang terbaik adalah yang sudah diputuskan Allah
mungkin dengen kepergian ibuk mbak jul ngerasa kalah, tapi disisi lain ibuk menang mbak, beliau berhasil melewati sakitnya dan ujian yang kali ini
pun aku, ketika ibuk pulang, berarti ibuk tidak harus menderita lebih lama lagi kan?
yok semangat mbak jul
Ya Allah, sedih bacanya.. semoga Ibu mendapat tempat terbaik di sisi Allah aamiin, peluuk...
ReplyDeleteTerima kasih Mba Dewi, Blogger senior panutan yang tidak pernah pelit berbagi ilmu.
DeleteSoa dariku juga, semoga sekeluarga senantiasa sehat ya Mbak. Aaminn