.png) |
Potret Perahu Nelayan di Desa Puger Kulon (Dokpri) |
Dua tahun lalu saya memiliki kesempatan bercengkrama dengan beberapa nelayan di Desa Puger Kulon Kabupaten Jember. Setelah beberapa kali bertatap muka, saya menarik kesimpulan bahwa nelayan kita ini sungguh luar biasa. Teriknya mentari dan ganasnya ombak lautan telah menempa mereka menjadi sosok yang tangguh namun tetap rendah diri.
Mendengar untaian cerita mereka mengumpulkan pundi-pundi rupiah hari demi hari untuk menghidupi anak istri membuat pipi saya hangat karena terguyur air mata. Hebatnya, tidak ada sama sekali rasa sesal yang terbersit dari sorot mata para nelayan yang saya temui.
Mereka selalu mengakhiri cerita akan kesedihan dan kenestapaan dengan syukur tanpa tapi, hal yang membuat kekaguman saya semakin dalam...
Perubahan Iklim Berdampak Nyata Terhadap Nelayan dan Sektor Perikanan Tangkap
"Sejak tahun 2013 nyari ikan semakin sulit, berbeda sekali dengan zaman dulu..."
Satu catatan berharga yang saya ingat baik-baik adalah keluhan nelayan sulitnya mencari ikan saat ini. Fenomena ini tidak hanya dialami satu atau dua orang, hampir seluruh nelayan yang saya temui mengiyakan hal tersebut.
Saya kemudian mencari tahu lebih banyak, benarkah produksi ikan di lautan kita yang katanya negara bahari memang sedemikian menipis dari waktu ke waktu ? Jika memang demikian, apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi ?
Wijayani (2016) dan Moegni, et.al., (2014) menjabarkan mengenai perubahan iklim dan dampaknya terhadap sektor perikanan tangkap nasional. Dijelaskan bahwa salah satu dampak dari
perubahan iklim global adalah terjadinya fenomena El Nino dan La Nina.
Terjadinya fenomena tersebut ternyata berkorelasi terhadap perubahan suhu permukaan air laut sehingga memengaruhi pola
kehidupan ikan. Dampak dari adanya fenomena anomali iklim yang terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia ini, paling rentan akan dialami oleh masyarakat pesisir.
Maka keluh kesah yang diutarakan Nelayan sangatlah valid, memang benar bahwa semakin hari hasil tangkapan ikan semakin menipis. Bagi kita yang hidup di kota mungkin hal ini tidak berdampak signifikan, toh kita masih bisa memilih menu non sea food untuk santapan harian. Kita masih bisa makan enak dengan menu olahan daging dan ayam. Kita masih bisa hidup nyaman !
Berbeda dengan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan, bagi mereka ketersediaan ikan di laut adalah soal hidup dan mati. Tak dapat ikan artinya tak makan, anak-anak tak bisa membayar pendidikan, lebih jauh lagi jika ada anggota keluarga yang sakit maka artinya tak ada kemampuan untuk berobat ke dokter.
Miris ya ? Sayangnya memang demikian keadaaannya.
Melihat Krisis Iklim Melalui Kaca Mata Climate Justice
Kendati krisis iklim dan isu-isu mengenai perubahan iklim (Climate Changes) terjadi secara global baik di negara maju maupun negara berkembang, hingga menyentuh kalangan elit hingga kalangan menengah ke bawah.
Namun, kita patut secara fair mengakui bahwa setiap negara dan setiap orang merasakan dampak yang tidak sama. Beberapa lapisan masyarakat merasakan dampak yang sangat mendalam dikarenakan sumber penghasilannya sangat bergantung terhadap alam seperti nelayan dan petani.
Dilansir dari Bisnis.com, riset terbaru yang mengkaji potensi dampak perubahan iklim terhadap pertanian dan perikanan pada 72 komunitas pesisir tropis lima negara Indo Pasifik, meliputi Indonesia, Madagaskar, Papua Nugini, Fillipina dan Tanzania menghasilkan beberapa temuan yang mengejutkan.
Pertama, potensi atau kemungkinan kerugian yang diderita sektor perikanan adalah yang tertinggi akibat perubahan iklim. Kedua, lebih dari dua pertiga komunitas tropis diprediksi akan mengalami kerugian produksi perikanan dan pertanian secara bersamaan. Ketiga, dari riset diketahui juga bahwa masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah atau miskin diprediksikan akan mengalami dampak potensial paling besar akibat perubahan iklim.
Ketiga poin di atas menuntut kita tidak hanya berfokus bagaimana melakukan mitigasi iklim yang paling efektif, namun kita memerlukan cara pandang atau kaca mata yang lebih berkeadilan dalam menyikapi isu krisis iklim yaitu melalui Keadilan Iklim atau yang lebih dikenal dengan Climate Justice.
Mengenal Lebih jauh Apa itu Climate Justice ?
Dilansir dari beberapa sumber yang relevan, Climate Justice adalah cara pandang yang melihat pemanasan global sebgai isu etika dan mempertimbangkan keterkaitan sebab dan akibatnya dengan konsep keadilan, khususnya keadilan lingkungan dan keadilan sosial.
Climate Justice memasukkan berbagai isu dalam mengkaji krisis iklim seperti kesetaraan, hak asasi manusia, hak kolektif dan tanggung jawab sejarah. Prinsip utama keadilan yang diusung adalah mengakui bahwa orang-orang di akar rumput (grass root) yang tidak memicu perubahan iklim atau berkontribusi paling minimal terhadap krisis iklim justru merasakan dampak yang paling mendalam.
Lalu, Bagaimana Melihat Krisis Iklim dari Lensa Keadilan Lewat Climate Justice ?
Dilansir dari IDN Times, terdapat tiga lensa keadilan yang dapat kita gunakan untuk melihat isu krisis iklim dan pemanasan global melalui Climate Justice. Adakah urgensinya ? tentu ! karena tanpa adanya lensa keadilan maka kita hanya akan melihat krisis iklim sebatas sebuah fenomena degradasi alam dan lingkungan hidup. Tanpa melihat lebih jauh apa yang menjadi sumber ketimpangan sehingga mendorong terjadinya krisis iklim itu sendiri.
Hmm... memangnya apa apa saja lensa keadilan tersebut ?
Pertama, Keadilan dari Negara Global utara dan Global Selatan
Negara global uatara sering dipandang sebagai negara-negara adidaya/maju. Dilihat secara historis, emisi gas rumah kaca khususnya saat revolusi indsutri paling banyak diproduksi oleh negara-negara Eropa. Sehingga, secara etika seharusnya yang paling bertanggung jawab atas dampak emisi gas rumah kaca adalah negara-negara Eropa.
Kedua, Keadilan dari Sisi Kelas Ekonomi
Pihak yang berkontribusi terhadap emisi biasanya didominasi oleh mereka yang mengkonsumsi lebih banyak. Tentunya, pihak-pihak tersebut banyak berasal dari kalangan menengah ke atas. Namun, sayangnya ketika dampak krisis iklim terjadi misalnya banjir, kekeringan, dan hujan badai justru kalangan menengah ke bawah yang menderita kerugian atau terkena dampak yang lebih besar dibandingkan kalangan yang memiliki sumber daya ekonomi lebih. Untuk itu, aksi-aksi mitigasi perubahan iklim harus melibatkan lensa kesenjangan tersebut.
Ketiga, Keadilan dari Sisi Antar Generasi
Aktivitas manusia di masa lalu membentuk alam dan lingkungan hidup di masa sekarang. Tak hanya itu, aktivitas kita saat ini juga akan membentuk dunia di masa mendatang. Apa yang dapat disimpulkan ? bahwa setiap generasi akan mewariskan dunia ke generasi selanjutnya di masa mendatang.
Segala kepitusan dan kebijakan yang kita lahirkan guna mitigasi perubahan iklim dan perbaikan lingkungan hidup haruslah mempertimbangkan keadilan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu, keputusan dan kebijakan yang telah dan akan diambil harus dipikirkan matang-matang dan melihat dampaknya dalam jangka panjang.
Melibatkan anak muda dalam mendesain kebijakan mitigasi perubahan iklim akan sangat diperlukan karena merekalah yang akan mewarisi alam di masa mendatang.
No comments